Sebuah
gagasan bisa meraih popularitas karena menarik, bukan karena
pembaharuannya. Juga tidak ditentukan semata karena kontroversinya. Pemikiran
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi misalnya, bukan hal baru, tetapi cukup menarik
perhatian masyarakat.
Sebagian
orang berpikir karena Dedi Mulyadi kontroversi sehingga ramai diperbincangkan,
sampai-sampai mengundang amarah kelompok tertentu dan melakukan somasi
terhadapnya. Bahkan kelompok tersebut mengajukan gugatan ke pengadilan
karena Dedi dianggap menistai agama.
Saya
sering mengamati polemik atas pemikiran Dedi Mulyadi (sebut Kang Dedi). Bupati
Purwakarta itu selain dikenal nyentrik dalam urusan dandanan, juga menarik dari
sisi pemikiran. Karena sosoknya sebagai pejabat publik yang keluar dari
kebiasaan bupati lain itulah yang mendorong kita untuk menyikapinya secara
jernih dan objektif.
Dari sekian bacaan di internet dan beberapa bukunya yang telah saya baca, memang ada banyak pemikiran yang menarik dari Kang Dedi, terutama mengenai etos hidup yang ingin ia kembangkan di masyarakat. Yang paling menarik menurut saya adalah cara pandang Kang Dedi terkait dengan urusan keyakinan agamanya dan sikap kasih sayang terhadap sesama manusia dan alam.
Dari sekian bacaan di internet dan beberapa bukunya yang telah saya baca, memang ada banyak pemikiran yang menarik dari Kang Dedi, terutama mengenai etos hidup yang ingin ia kembangkan di masyarakat. Yang paling menarik menurut saya adalah cara pandang Kang Dedi terkait dengan urusan keyakinan agamanya dan sikap kasih sayang terhadap sesama manusia dan alam.
Ini
merupakan sisi yang fenomenal dan patut diapresiasi. Bahkan saya menyerukan
patut dijadikan teladan kepala daerah lain karena dua hal.
Pertama, karena
kemampuan Kang Dedi menempatkan dirinya sebagai orang yang beragama tetapi
mampu membaca sunnatullah. Kedua, karena kemampuan Kang Dedi mengambil solusi
atas problematika masyarakat dalam hal ekonomi dan pola hidup masyarakat di era
globalisasi.
Sisi Agama Dedi Mulyadi
Dari
sisi agama, Kang Dedi cukup memiliki bekal. Ia memang bukan kiai, bukan
ulama, bahkan nyantri pun tidak, kecuali mendapatkan pendidikan agama dari
guru-guru ngaji golongan santri tradisional. Masa kecilnya hidup dalam keluarga
muslim taat, mengerti praktik ibadah sebagaimana lazimnya orang-orang NU.
Karena dirinya termasuk golongan yang haus ilmu, secara otodidak ia gemar
belajar sendiri melalui bacaan-bacaan keagamaan.
Di
luar itu ia pun sangat senang bergaul dengan para ulama, cendekiawan,
budayawan, penyair, teknokrat dan lain-lain. Pendek kata, pola penyerapan ilmu
Kang Dedi seperti para aktivis; terus menggali pengetahuan dari mana pun
sumbernya.
Posisi
Kang Dedi sebagai aktivis yang menjabat Bupati, membuat dirinya kaya akan
pengalaman berinteraksi dengan teman-temannya di kalangan birokrat, politisi.
Ia juga kenyang pengalaman menghadapi massa riil di akar rumput. Ia punya
kesadaran intelektual, sekaligus punya kesadaran transformatif untuk mengubah
kondisi yang beku menjadi cair, mengubah yang stagnan menjadi progresif.
Di Balik Pemikiran Dedi Mulyadi
Kang
Dedi bisa digolongkan sebagai sosok aktivis yang rindu akan peran agama
dalam menjawab persoalan di masyarakat. Ia bukan tipikal muslim
kolot/konservatif yang berhaluan Islam-Politik yang lebih gemar memformalkan
agama dalam bentuk peraturan atau simbol-simbol.
Alih-alih
demikian, ia menjadikan Islam sebagai aksi, sebagai tindakan
agar bisa memberikan solusi untuk pencapaian maslahat. Berbagai
prestasi sudah dibuktikan, sehingga saya tidak perlu menuliskannya secara
rinci di sini.
Justru
yang lebih penting adalah, apa yang berada di balik pemikiran Kang Dedi
sehingga ia memiliki kemampuan menerjemahkan agama dalam konteks
kepemimpinannya sebagai bupati dan juga sebagai pegiat budaya?
Kang
Dedi Mulyadi punya kesadaran mengintegrasikan ajaran Tuhan sebagai pencipta
dengan realitas yang harus dihadapi manusia. Seorang muslim menurutnya, harus
mampu menggunakan akal budinya untuk melihat realitas; mampu melihat
sunnatullah. Pada
sebuah acara di televisi misalnya, ia mengatakan, Saya
punya pemahaman bahwa tanah, air, matahari (cahaya), dan udara adalah kita. Ia
menjadi bagian dari kehidupan kita dan karena itu tidak boleh disakit. Karena
menyakiti tanah, air, matahari dan udara adalah menyakiti kita, menyakiti
manusia.
Kemudian
Kang Dedi menjelaskan, bahwa segala ciptaan Allah dan alam semesta itu
sepaket sebagai bagian hidup umat manusia. Manusia menjadi khalifah, punya
tanggungjawab untuk mengurus alam semesta dan tidak boleh melukainya dengan
melakukan eksploitasi, atau tindakan semena-mena.
Menurutnya,
selama ini banyak kerusakan alam karena peran khalifah yang diamanatkan kepada
manusia, tidak dijalankan dengan baik oleh kalangan umat Islam, dengan
membiarkan masyarakat tanpa kepemimpinan dalam urusan ekspolitasi alam.
Menurut
Kang Dedi, untuk menolak madharat dalam urusan lingkungan hidup misalnya,
seorang kepala daerah tidak boleh tergoda mengizinkan penambangan pasir
sembarangan. Ia juga tidak boleh memberikan izin pendirian
perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan di sekitar lahan tempat
berdirinya. Setiap bupati atau gubernur dan presiden harus menolak
tegas ijin-ijin pembangunan yang tidak manusiawi dan tidak ramah lingkungan.
Kang
Dedi melihat kenyataan selama ini, orang-orang modern sulit meraih kebahagiaan
karena melupakan tanggungjawab mengurus tanah, air, udara dan cahaya. Semuanya
serba pragmatis menyangkut urusan ekonomi dengan alasan modernisasi.
Padahal menurutnya, sekali pun pragmatis-ekonomis, toh akhirnya tidak
menjadikan kemakmuran tersebut mengarah pada kebahagiaan manusia.
Kang
Dedi mengambil contoh, banyak orang merasa modern karena kompor gasnya. Padahal
dengan kompor gas itu pemborosan terjadi. Banyak dapur di desa-desa yang
memakai kompor gas, padahal seharusnya orang desa merawat hutan dan bisa
memanfaatkan rantingnya untuk kayu bakar.
Akibat
rutin mengonsumsi gas itulah pemborosan terjadi. Semua harus belanja. Gaji PNS
naik, tapi tetap dililit oleh problem pengeluaran karena sudah banyak pegawai
negeri yang terjebak pada konsumerisme hidup: ketergantungan pada motor,
mobil, dan lain-lain. Akhirnya, mereka mewujud sebagai masyarakat modern,
tetapi sengsara karena dililit pengeluaran yang semakin meningkat.
Kearifan Petani
Menurut
Kang Dedi, kearifan lokal di masyarakat itu harus diutamakan. Misalnya petani
tidak usah memakai mesin bajak, melainkan memakai kerbau saja. Mesin tidak
selalu menguntungkan secara ekonomis karena akan selalu mengalami penyusutan.
Bahkan, saat mesin bermasalah, petani bisa menganggur.
Dengan
memanfaatkan rumput untuk kerbaunya, petani justru bisa untung karena kerbau
tersebut bisa beranak, bisa menghasilkan pupu;, jerami bisa diolah jadi pupuk
organik; petani pun tidak kecanduan pestisida yang merusak alam.
Ular
menurutnya, tidak boleh dibunuh karena secara sunnatullah harus hidup untuk
menjaga lingkungan. Hilangnya ular akan membuat populasi tikus merajalela dan
akan merusak tanaman. Rusaknya tanaman akan membuat petani miris dan pesimis
akan kondisi ekonominya, sehingga memilih menjadi pekerja kasar di
kota.
Kearifan
pendidikan anak dalam keluarga, menurut Kang Dedi, juga harus
diperhatikan. Karena tanpa pendidikan etos yang baik, orang-orang akan
sulit meraih kebahagiaan. Misalnya anak-anak sekarang tidak lagi diarahkan oleh
orang tuanya bersentuhan dengan alam. Sekolah naik motor, bensin keluar. Mesin
motor bisa menggerus uang tabungan.
Begitu pulang
ke rumah, yang dipegang anak-anak masa kini adalah ponsel; yang
mereka tonton, tayangan-tayangan televisi yang tidak mencerminkan
realita. Akhirnya, mereka berada di rumah terus menerus dan merasa risih dengan
lumpur, dengan tanah, takut cahaya matahari, dan tidak mendapatkan udara segar
dari alam.
Menurut
Kang Dedi, ini mengakibatkan mentalitas buruk karena kemudian anak tidak punya
pengalaman empirik mencari sesuatu untuk menghasilkan sesuatu.
Mereka lebih memilih berdiam diri di rumah. Kelak saat dewasa, ketika
membutuhkan sesuatu yang mendesak, mereka menjadi pragmatis dengan memilih
menjual tanahnya, menjual ternaknya untuk konsumsi hidup. Akibatnya banyak
petani kehilangan tanahnya.
“Orang-orang
sekarang sudah pada jadi dedemit,” katanya. Menjadi dedemit karena
menurut Kang Dedi banyak yang takut berinteraksi dengan alam di siang hari,
memilih menghindari cahaya matahari, takut hujan, takut keluar rumah dan tidak
punya tanah. Kalaupun menempati tanah hanya ngontrak. “Kaki-kaki manusia sudah
tidak lagi bersahabat dengan tanah. Mirip dedemit,” ujarnya bergurau.
Konstruksi
mentalitas manusia yang seperti itu, menurut Kang Dedi, lahir karena
kesadaran agama tidak dibangun atas dasar jiwa. Agama banyak diterapkan
sebagai lipstik dan tidak dijadikan alat untuk gerakan hidup. Manusia
Indonesia, menurut Kang Dedi, sudah banyak dianugerahi kekayaan alam yang
luar biasa tetapi tidak mau merawat dan menjadikannya sahabat, sehingga
masuk golongan kufur nikmat.
Menerapkan Metode Pembelajaran Aktif
Dalam
urusan pembelajaran sekolah, Kang Dedi juga ingin agar para guru mampu
mempraktikkan metode belajar aktif. Pembelajaran aktif adalah pembelajaran yang
tidak melulu bergantung dengan buku teks, melainkan didominasi secara langsung
melalui praktik.
Dalam
hal ini, Kang Dedi tidak mengharuskan para guru mengajar di ruangan kelas dan
semata berkutat dengan buku, tetapi harus langsung ke lapangan. Misalnya,
ketika seorang guru mau menjelaskan tentang cahaya matahari, ajaklah muridnya
keluar ruangan dan jelaskan apa itu tata surya. (Idenya mirip pembelajaran Nabi
Ibrahim yang pada akhirnya mampu menawarkan pembaharuan mengenai gagasan
tentang Tuhan).
Menurut
Kang Dedi, buku memang penting, tetapi kalau hanya bersandar pada buku, justru
akal dan rasa manusia tidak akan berkembang karena hanya menyerap pengetahuan
dari unsur-unsur yang mati, abstrak dan tidak konkret.
Sementara
itu, ilmu pengetahuan hanya akan mubazir kalau berhenti pada tataran teori.
Ilmu pengetahuan bagi Kang Dedi, harus mampu menjawab kebutuhan hidup
manusia, dan bukan justru menciptakan pengangguran-pengangguran atau mental
pekerja budak yang penakut dalam menghadapi situasi hidup, memilih zona
nyaman dengan bekerja pada orang lain/perusahaan.
Beberapa
poin penting tentang agama, etos dan visi Kang Dedi di atas sangat menarik.
Karena semangat seperti itulah yang banyak dirindukan oleh para budayawan
dan cendekiawan. Kalau kita baca buku karya Ajip Rosidi, Kearifan Lokal:
Dalam Perspektif Budaya Sunda, di sana akan tergambar jelas bahwa
sosok Kang Dedi seperti yang dimpikan oleh Ajip Rosidi.
Kang
Dedi, dalam konstruksi pemikiran Ajip Rosidi, adalah tipikal pejabat yang
lain, karena kemampuannya menerjemahkan pengertian budaya sebagai etos, etik
dan ideologi, bukan sebagai kesenian atau formalisme istilah semata.
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....