Oleh : Sakib Machmud
( Alumni Himpunan Maha Islam / Perumus NDP HMI )
Hari
ini kita mengenang untuk kesekian kalinya, peristiwa-peristiwa besar yang
dialami oleh tiga hamba Allah, yakni Ibrahim a.s, isteri beliau Siti Hajar, dan
putera mereka Ismail a.s. Ketiga insan pilihan itu telah memperlihatkan contoh
ketaatan yang luar biasa kepada Tuhannya. Mereka telah menempatkan kepatuhan
kepada Allah jauh di atas cinta kasih kepada apapun dan siapapun, termasuk
kepada anggota keluarga bahkan diri sendiri. Ismail adalah putera kandung yang
telah lama diharap oleh ayah dan bundanya. Anak itu merupakan hasil dari do’a
demi do’a yang diucapkan Ibrahim disertai tetesan air mata, pada saat beliau
sudah berada dalam usia senja. Ismail adalah tumpuan kebanggan dan harapan
kedua orang tuanya. Namun justru tatkala anak yang sangat diharap itu hadir di
bumi, dan ketika ayah serta ibunya sedang membuainya dengan kasih sayang,
datanglah ujian-ujian yang bukan alang kepalang beratnya.
Ketika
ayah, ibu dan anak itu sedang melakukan perjalanan bertiga, di suatu kawasan
padang pasir yang bernama Bakkah, Allah Swt memerintahkan Ibrahim a.s. agar
segera dan pada saat itu juga berangkat menunaikan tugas ke negeri Mesir,
meninggalkan isteri dan anaknya yang masih bayi merah. Sebagai seorang suami
dan lebih-lebih lagi sebagai seorang ayah, sudah tentu Ibrahim sempat terpana
ketika menerima perintah tersebut. Sebagai manusia biasa, tentu Ibrahim sangat
berat hati untuk meninggalkan orang-orang yang amat disayanginya itu di tengah
padang pasir yang luas, tanpa teman dan tanpa bekal yang memadai. Namun
kegundahan itu hanya berlangsung beberapa saat. Sejurus kemudian beliau telah
memantapkan dirinya kembali. Beliau segera sadar bahwa tidak patut seorang
hamba meragukan kekuasaan Allah Swt. Perintah meninggalkan isteri dan anak,
beliau terima dari Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih. Maka pasti Allah
akan menghidupi dan melindungi orang-orang yang ditinggalkannya itu. Isteri
Ibrahim, Siti Hajar juga mempunyai keyakinan yang sama. Maka beliau tidak
menjadi cemas ataupun gelisah, sehingga tidak sedikitpun berusaha menghalangi
kepergian suaminya. Dengan tenang Siti Hajar memandangi punggung suaminya yang
semakin lama semakin menjauh. Hatinya menyatakan: Suami boleh pergi tetapi
Allah yang Maha Agung tidak akan ke mana-mana. Suami tidak lagi dapat menolong,
tetapi Allah Yang Maha Kuasa pasti akan dan pasti mampu melindungi setiap
hamba-Nya. Innalooha ma’anaa – sesungguhnya Allah senantiasa menyertai kita.
Demikian keyakinan seorang wanita yang hatinya diisi penuh oleh iman yang
sangat kokoh.
Ujian
nyata memang kemudian harus dihadapi oleh wanita sholihah itu. Ismail menangis
menjerit, karena kehausan, padahal persediaan air sudah habis sama sekali. Maka
Siti Hajar pun memandang ke segenap penjuru, mencari-cari orang yang lewat
untuk dimintai seteguk air. Namun yang terlihat hanyalah pasir dan batu-batuan
belaka. Beliau menidurkan Ismail di tanah, lalu naik ke bukit Shafa. Barangkali
dari tempat yang tinggi akan nampak sebuah oasis, atau iring-iringan kafilah
yang dapat dimintai air barang secawan. Ternyata sejauh mata mamandang hanya
ada pasir dan batu. Beliaupun turun ke lembah lalu naik lagi ke bukit Marwah.
Mungkin saja dari arah yang berbeda dapat dilihat orang-orang yang sedang
melakukan perjalanan. Ternyata tidak ada juga. Namun toh wanita yang amat sabar
itu tidak putus asa terhadap rahmah Allah. Didakinya lagi Shafa, kemudian
Marwah; tadi memang tidak nampak ada kafilah, tapi bisa jadi sekarang ad
airing-iringan orang yang lalu. Beliau naik dan turun bukit sampai tujuh kali
balikan. Maka pada saat itulah Allah Swt berkenan memperlihatkan kekuasaan-Nya
yang agung. Di dekat kaki Ismail yang tergolek, tampak tanah yang basah. Maka
Siti Hajar mengeduk tanah itu dengan kedua tangannya. Ternyata di sana terdapat
mata air yang jernih, yang kemudian dikenal sebagai sumur Zamzam. Dengan adanya
sumber air itu, selamatlah Ismail beserta ibunya. Subhanallah – Maha Hebat
Allah, suci dari segala kelemahan dan kekurangan!
MERENUNGKAN KETABAHAN KELUARGA
IBRAHIM A.S. (2)
Kita
telah membicarakan ketabahan Nabi Ibrahim a.s. dan isteri beliau Hajar, ketika
Allah Swt memerintahkan kepala keluarga tersebut untuk meninggalkan isteri dan
anak kesayangnnya di tengah padang pasir Bakkah tanpa teman lagi dan tanpa
bekal yang memadai. Namun ujian bagi keluarga Ibrahim a.s. ternyata belum
berakhir. Beberapa tahun kemudian, tatkala Ismail sudah remaja, tampan
wajahnya, cerdas akalnya, dan luhur akhlaknya, datang
lagi cobaan yang luar biasa berat kepada beliau. Maka berkatalah sang ayah
kepada putera kesayangannya: “Wahai Ismail, malam tadi melalui mimpi aku
menerima perintah Allah yang sangat berat. Aku disuruh menyembelih engkau
anakku, dengan tanganku sendiri. Kini aku meminta pertimbanganmu, bagaimana
sikap kita terhadap perintah ini?”. Hanya sekejap Ismail a.s. terdiam,
meresapkan kata-kata ayahandanya. Pada detik berikutnya beliau sudah tegak
menengadahkan wajah, lalu berkata dengan lembut namun tegas : يَا
أَبَتِ
افْعَلْ
مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي
إِنْ
شَاءَ
اللَّهُ
مِنَ
الصَّابِرِينَ
- Wahai ayahku, silakan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu.
Engkau akan menyaksikan daku, insya Allah, termasuk orang-orang yang sabar”.
(QS Al-Saffat:102).
Kemudian
ayah dan anak itu pergi ke suatu tempat yang sunyi. Ismail a.s. dengan suka
rela telah membaringkan dirinya di atas tanah. Ibrahim a.s. dengan hati yang
mantap telah meletakkan pedang tajam di atas leher anak terkasihnya. Tidak ada
sesuatu yang mengisi pikiran dan perasaan kedua hamba itu selain patuh
sepenuhnya kepada Allah Swt. Maka di saat mereka berada pada puncak penyerahan
diri, Allah berfirman: يَا إِبْرَاهِيمُ –
Wahai Ibrahim! قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ - Sungguh
telah engkau laksanakan perintah melalui mimpi itu dengan benar. Kami pasti
mengganjar balasan kemuliaan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ - Sungguh
ini adalah suatu ujian yang nyata. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ - Maka Kami
mengganti Ismail dengan hewan sembelihan yang besar. (QS As-Shaffat: 104-107).
Selanjutnya Allah Swt berfirman: وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ - Kami
abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang
kemudian, سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ -
Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ - . Demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS As-Shaffat 108-110).
Sudah
tentu Allah Swt meneuhi janjiNya. Tekad Ibrahim menyembelih Ismail a.s. dan
ketulusan Ismail a.s. untuk disembelih ayahnya sendiri karena menaati perintah
Allah, diabadikan dalam bentuk perintah ibadah Qurban kepada kaum muslimin yang
mampu, yakni menyembelih sapi, domba atau unta, pada Hari Raya Adha atau
hari-hari Tasyrik.