Oleh : Dedi Mulyadi
( Bupati Kabupaten Purwakarta )
Cinta adalah memberi, melayani, memuliakan yang
dicintainya, dan menghasilkan sesuatu yang baru. Misalnya karena ibu dan bapak
saling mencintai, mereka saling memberi, melayani, memuliakan, dan menghasilkan
anak-anak sebagai buah dari cinta kasih.
Cinta seharusnya dihadirkan dalam keseluruhan
proses pendidikan, baik di rumah, di tengah masyarakat maupun diruang kelas.
Sebabnya adalah persoalan Output atau outcome dari
sebuah produk itu sangat di pengaruhi oleh proses yang dilaksanakan oleh kita,
untuk itu sejak sekarang saya yakin setiap sekolah pasti melakukan upaya-upaya
secara komperensif, penekanan, arahan dan orientasi kepada siswa untuk
melakukan peningkatan kualitas, khususnya melakukan langkah-langkah yang
mendekatkan pada upaya pemahaman siswa terhadap proses pendidikan.
Walaupun demikian, saya yakin seluruh proses
pendidikan sudah mendasarkan dari pada cinta. Kehadiran kurikulum yang begitu
ketat bisa saja “menjerumuskan” guru menjadi aktor yang hanya memainkan peran
tanpa penghayatan, tanpa hati, Agar sang aktor dapat menghidupkan lakon yang
harus dimainkannya, ia harus dipenuhi rasa cinta atau dalam istilah Toyoda
adalah ingenuity. Rasa cinta yang memberikan ketertarikan dan
keterpangilan untuk melakukan sesuatu yang terbaik, perbaikan terus menerus,
dan selalu memberikan kemanfaatan yang dapat diukur atau dirasakan oleh siswa.
Kakak saya yang menjadi guru menyatakan bahwa
saat ini kurikulum yang berlaku adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan). KTSP adalah kurikulum yang disususn berdasaran kekhasan dan
filosofi lokal. Saya ingin kekhasan Purwakarta menjadi dasar seluruh pengajaran
dikabupaten ini, dan tentu saja filosofi cinta.
Berbicara mengenai filosofi cinta, kita bisa
mulai dari apa yang mendasari keterbukaan pendopo kabupaten Purwakarta. Saya
telah membuat ruang pendopo sebagai ruang terbuka (dapat dilihat oleh semua
pihak dan dinikmati) hanya dibatasi oleh sejumlah pepohonan. Pendopo sebagai
ruang terbuka adalah filosofi dasar dari cinta. Bukankah cinta membuat sepasang
suami istri tdak malu lagi untuk saling terbuka, melalui keterbukaan proses
kreatif dapat menghasilkan sesuatu yang baru.
Keterbukaan sejenis inilah yang saya harapkan
hadir pula didalam dunia pendidikan. Keterbukaan pada dunia pendidikan adalah
kemampuan akademis yang selalu mendorong semua anak untuk berkembang sesuai
fitrahnya, bukan sesuai dengan ukuran guru atau kurikulum. Anak-anak bukanlah agar-agar
yang gampang dibentuk dalam satu cetakan tertentu. Anak-anak adalah amanat
Tuhan, ia ada sebagai bukti bahwa Tuhan memeperhatikan kita. Karena itu
anak-anak adalah keajaiban, ia tak bisa ditebak juga tak bisa dibentuk, ia tak
bisa ditebak juga tak bisa dibentuk, ia hanya bisa diarahkan agar menemukan
fitrahnya.
Itulah sebabnya, saya meyakini bahwa semua anak
dilahirkan dengan pesan dan kelebihan tertentu. Tak ada yang bodoh, yang ada
adalah kemalaan dan rasa tidak percaya diri. Semua anak diciptakan oleh Tuhan
Yang Mahakreatif. Jika ada angapan bahwa ada anak yang bodoh, sama artinya
dengan menghina Tuhan karena menganggap bahwa Tuhan yang Mahakreatif itu salah
dalam menciptakan atau keliru dalam menciptakan sesuatu. Saya berlindung dari
anggapan seperti itu.
Saya percaya semua anak memiliki kekuatannya
masing-masing. Namun secara umum, setiap anak manusia memilikikelebihan intelektualitas (dalam
kadarnya masing-masing). Maka pendidikan yang penuh cinta adalah pendidikan
yang sanggup memberikan ruang bagi perkembangan Intelektualitas.
Salah satu bentuk kelebihan dari Intelektualitas
adalah menembus tanpa batas, menembus apa pun dan tidak memedulikan apa pun.
Selama bisa diperdebatkan dan bisa dibuktikan secara akademis, dia yakin pada
sebuah kebenaran. Sehingga seringkali intelektualitas –seperti–menampik
nilai-nilai spi-ritualitas. Sesuatu yang terbuka itu akan melahirkan yang
disebut dengan peradaban.
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....