Oleh : Dedi Mulyadi, SH
( Bupati KAbupaten Purwakarta )
Pada
saat pertama kali belajar sepeda, stang adalah benda yang sangat liar dan susah
dikendalikan. Geraknya yang lentur, gampang berbelok kekiri dan kekanan,
membuat sepeda menjadi sesuatu yang liar dan berbahaya. Namun, stanglah yang
menjadi “pengarah” hendak kemana sepeda dilajukan, lurus kedepan atau ke kiri
dan ke kanan. Laju bisa berharga dan bermakna bila diarahkan pada tujuan
tertentu, dan pengarahnya adalah stangsepeda itu.
Pada
saat kita menaiki sepeda, kita adalah pengendali bila sanggup mengendalikan
stang. kita akan tertusuk ke jalur yang salah ketika stang mengarah ke
arah yang salah, sebaliknya kita dapat menuju arah yang benar bila stang
mengarah ke sana. Pada stang ini kita dapat filosofi, tak cukup jalan yang
benar untuk sampai pada kebahagiaan, namun dibutuhkan juga “pengarah” agar laju
hidup tetap berada di jalan yang benar itu.
Pada
stang terdapat rem, bel, dan lampu jalan. Pada stang ada kendali untuk melaju
kencang dan berhenti pada saat yang tepat (rem): ada juga kendali untuk memberi
peringatan bagi yang lain mengenai keberadaan diri kita yang sedang
melalui (bel); dan ada kendali untuk menerangi jalanan yang gelap dan tak
terlihat.
Rem
adalah kendali yang sering dilupakan. Kegagalan, menurut para ahli, disebabkan
ketidakmampuan kita menentukan kapan saat melaju, kapan saat mengurangi
kecepatan, dan kapan saatnya berhenti. Rem itu ada dalam kendali kita,
bergantung pada kita kapan saatnya melaju kencang atau berhenti.
Bel
adalah kendali identifikasi diri di hadapan orang lain. Di tengah jalan kita
menemui paling tidak dua jenis orang, yang tahu keberadaan kita, namun tak
menyadari (tidak mengakui) kita, bahkan bisa menghalangi laju perjalanan.
kepada kedua nya perlu ditegaskan eksistensi kita, bel adalah alatnya.
Eksistensi kita bergantung pada kemauan kita untuk mengendalikan kapan kita
mengenalkan diri untuk memberi tahu, kapan kita mengenalkan diri agar orang
lain menyingkir dari jalur yang menghambat cita-cita. Bel adalah pemeberi tahu
akan kehadiran kita sekaligus ancaman bagi mereka yang lupa (menghalangi)
keberadaan laju cita-cita.
Lampu
jalan di gunakan pad amlam hari, pada saat gelap membuat arah kita menjadi
tidak ada atau buram. Cita-cita adalah tujuan di depan sana, mungkin sebuah
titik atau suatu tempat yang kita idamkan, namun semua itu butuh cahaya. Bila
cahaya kehidupan (matahari) tidak dapat menerangi cita-cita itu, kita
membutuhkan cahaya yang kita upayakan sendiri, berasal dari diri kita sendiri.
Lampu
jalan adalah contoh yang tepat untuk cahaya hasil usaha sendiri. lampu
sepeda tidak menggunakan baterai, tidak juga aki. Lampu akan menyala ketika
dinamonya diletakan dengan ban depan sepeda, dinamo berputar mengikuti gerak putar
sepeda. Tentu saja ada beban yang semakin memberat, laju ban akan sedikit
terhambat demi menghasilkan cahaya penerang jalan. Namun, maslah
“ketidakjelasan” arah, kecepatan harus di kurangi agar ita bisa menghasilkan
cahaya penerang dan wawasan diri.
Pada
lampu jalan kita belajar mengenai kearifan untuk menerangi kehidupan dari hasil
upaya sendiri. Tak ada hak kita untuk menyalahkan kehidupan ketika dia
menunjukan ketidakjelasan, tugas kita adalah membuat hidup mendukung tujuan
kita dengan upaya sendiri.
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....