Arti
dangiang menurut kamus bahasa Sunda Danadibrata yaitu sebangsa mahluk halus
yang besar pengaruhnya, sehingga terasa oleh manusia. Masih dalam kamus yang
sama disebutkan bagi urang Sunda arti dangiang yaitu semacan daya tarik atau
sesuatu yang menarik hati umpamanya manusia yang hatinya bersih dan mempunyai
nilai (wibawa) suka disebut besar dangiangnya.
Sejalan
dengan itu didalam buku Babasan jeung Paribasa (Ajip Rosidi, Kiblat 2005) arti
dangiang yaitu komarana (wibawa) dengan dijelaskan bahwa dangiang biasanya
diterapkan ke sebuah tempat yang dianggap suci atau keramat, sedangkan bila
diterapkan kepada manusia, dangiang itu artinya wibawa akibat pengaruh
kekuatan batin yang bersih.
Lain
lagi pendapat Godi Suwarna seperti tercermin di dalam fiksi mini bahasa Sunda
yang berjudul Ringkang Sang Dangiang (http://fikminsunda.com)
, dangiang lebih diartikan sebagai pulung atau sesuatu yang datang dari langit
yang memberi tanda kepada siapa kekuasaan akan datang ke genggamannya.
Di
dalam karya sastra Sunda ungkapan ilang dangiang atau leungit dangiang
diantaranya ditemukan di dalam sajak dan novel, seperti pada sajak Sangkuriang
karya Hasan Wahyu Atmakusumah (Kanjutkundang, Balai Pustaka, 1963) dan sajak
Sang Prabu Ngalimba karya Yoseph Iskandar (Tumbal, Rachmat Cijulang,1982),
sedang dalam novel, ada di dalam cerita Mantri Jero karya R.Memed
Sastrahadiprawira (Balai Pustaka, 1958).
Inilah petikannya:
Inilah petikannya:
bongan
kiwari geus taya wanci nu mustari / réa teuing sangkuriang / geus musna beurang
/ alam geus ilang dangiang / tinggal peuting anu panjang / cul hanca ngadukduk
acong-acongan / cul raga muru-muru nu can karuhan (Sajak Sangkuring)
Duh
Prabu / Pajajaran geus lila ilang dangiang / leungiteun tapak / leungiteun
udagan
Duh Prabu / Tatar Pasundan uyu-ayap / nataran Sajarah nu paburisat / leungiteun lontar / leungiteun wangsit (Sajak Sang Prabu Ngalimba )
Duh Prabu / Tatar Pasundan uyu-ayap / nataran Sajarah nu paburisat / leungiteun lontar / leungiteun wangsit (Sajak Sang Prabu Ngalimba )
Pasar
nu sakitu raména jadi runtang-rantin, lantaran kurang nu dagang, sepi nu barang
beuli, kawantu jelema téh boloampar ngajalankeun pausahaan; saban poé saban
peuting téh ngan abring-abringan baé, ngiring-ngiring kapala, ngaronda.
Padaleman ngadak-ngadak leungit dangiangna (novel Mantri Jero)
Nampaknya
dari ketiga gambaran tersebut semuanya mengedepankan tentang ilang dangiang
yang bertautan dengan bukan orang tetapi lebih kepada tempat yang (bisa jadi)
dianggap keramat.
Hari
ini untuk mengembalikan “dangiang orang Sunda” diantaranya dipelopori oleh
Bupati Purwakarta, Kang Dedi Mulyadi. Ia melakukan Kunjungan safari budaya yang
dibalut dengan nama “Dangiang Galuh Pakuan”. Kegiatan ini digelar di beberapa
tempat yang dinilai mempunyai nilai historis kebudayaan Sunda. Artinya,
kegiatan ini pun merupakan sebuah medium komunikasi sosial, Mentransformasikan
Dangiang orang Sunda.
Dalam
setiap kunjungannya, kang Dedi yang tak lepas dari iket khasnya ini, mengajak
semua orang untuk ngamumule (melestarikan) budaya Ki Sunda. Terutama kepada
generasi muda dia menitipkan agar eksistensinya tidak terkikis oleh peradaban
modern.
Menurut
Kang Dedi, Sunda itu tidak terbatas ruang dan waktu. Apalagi, batas teritorial
administrasi pemerintahan.
“Warga
Sunda di mana pun berada harus menunjukkan jati dirinya sebagai masyarakat yang
silih asah, silih asih, silih asuh sebagaimana ajaran Siliwangi. Jadi, kalau
berbicara pemimpin dia harus bisa mencontoh Prabu Siliwangi,” tuturnya.
Orang
nomor satu di Kabupaten Purwakarta itu pun menjelaskan satu ajaran mulia Ki
Sunda. Yakni, ajaran kasih sayang yang menyebutkan setiap warga itu kudu nulung
kanu butuh nalang kanu susah. Nganteur kanu sieun, nyaangan kanu poekeun, jeung
welasan asihan deudeuhan.
“Ajaran
ini sebenarnya sangat sejalan dengan nilai universalitas Islam yang rahmatan
lil ‘alamiin, begitu imbuhnya.
Upaya
kang Dedi dalam mengembalikan identitas sekaligus kewibawaan orang Sunda, tak
lepas dari kecintaanya terhadap tanah Sunda sekaligus refleksi dari sense of
belonging (rasa memiliki) yang sudah di wariskan oleh para orang tua terdahulu.
Sehingga spirit itu dia tempuh walau harus berliku bahkan bertarung dengan
derasnya laju modernisasi yang menjadi penunjang kemajuan, sekaligus hambatan
peradaban terjaganya budaya Sunda itu sendiri. (hsr)
Sumber : http://dangiangkisunda.com/makna-filosofis-dari-dangiang-ki-sunda/
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....