Sejak dicanangkannya kebijakan desentralisasi yang
dialamatkan ke level daerah, telah mampu mendorong kebangkitan partisipasi
masyarakat sipil. Tak ayal jika asosiasi masyarakat sipil makin marak dan
tumbuh di aras lokal. Upaya mereka, umumnya, berkehendak memajukan peran
masyarakat di setiap pengambilan kebijakan, baik itu menyangkut perencanaan
pembangunan, penganggaran daerah, sampai pada pelayanan hak-hak sosial dasar.
Banyak cara telah di tempuh. Selain memanfaatkan jalur formal kebijakan,
biasanya gerak dinamik lokal diisi juga memilih strategi advokasi melalui
pengorganisasian warga, mengangkat isu-isu populis. Pilihan pengorganisasian
masyarakat sering ditempuh sebagai bagian dari episode merintis pondasi dan
membangun tembok bagi demokrasi lokal. Sekarang, di era baru, berbagai catatan
kritis terhadap pengelolaan desa masa lalu telah bertebaran di setiap tempat,
yang kemudian melahirkan gagasan pemberdayaan masyarakat maupun pembaharuan
desa. Keduanya merupakan gagasan baru yang paralel, meski titik tekan antara
pemberdayaan dan pembaharuan bisa berbeda.
Sasaran pemberdayaan adalah masyarakat, yang di dalamnya
mewadahi warga secara individual maupun komunitas secara kolektif. Pemberdayaan
adalah upaya membangkitkan kekuatan dan potensi masyarakat yang bertumpu pada
komunitas lokal melalui pendekatan partisipatif dan belajar bersama. Sementara
sasaran pembaharuan adalah desa, sebagai sebuah entitas kolektif yang
mengandung proses relasi ekonomi-politik antar aktor di desa, governance system
dalam desa maupun relasi atau posisi ekonomi-politik desa di hadapan struktur
supradesa yang lebih tinggi. Pembaharuan desa adalah sebuah upaya yang
berkelanjutan untuk mengawal perubahan relasi ekonomi-politik desa secara
internal maupun eksternal, menuju tatanan kehidupan desa baru yang lebih
demokratis, mandiri dan adil. Dari sisi strategi, pendekatan dan proses,
pemberdayaan merupakan gerakan dan pendekatan berbasis masyarakat lokal maupun
bertumpu pada kapasitas lokal, yang notabene bisa dimasukkan ke dalam kerangka
pembaharuan menuju kemandirian desa.
Sementara berkenaan dengan peran pemerintah daerah,
sejumlah perubahan juga patut disyukuri. Sekurang-kurangnya pada aras formal
kelembagaan, juga regulasi telah banyak inisiatif-inisiatif awal oleh
pemerintah yang makin tumbuh. Hal ini dapat digolongkan sebagai respon atas
tuntutan perubahan yang dikawal para CSO (civil society organization), maupun
sebentuk political will yang lahir dari teknokrasi pemimpin daerah. Sebagai
kesatuan masyarakat hukum dan tata pemerintahan yang paling bawah, desa pernah
memiliki otonomi.
Dalam sejarahnya, dijaman pasca kemerdekaan, desa
memiliki otonomi demikian besar dalam mengatur pemerintahannya, pengelolaan
ekonomi-sumberdaya alam, serta keunikan atau kekuatan kultural tersendiri.
Eksistensi dan integrasi komunitas terjadi demikian kuat, dan memiliki akar
sejarah yang panjang. Pengetahuan dan kearifan lokal berasal dan berkembang,
sebagai bagian dari social capital (tercakup didalamnya: nilai, mekanisme dan
institusi sosial yang begitu kuat), tentu dengan keragaman wujudnya, satu sama
lainnya. Desa, pada fase pemerintahan itu adalah bersifat mandiri. Kemandirian
sosial budaya ini, terutama mengacu pada kesatuan hukum (adat) yang mengikat
dan mengatur masyarakat desa dalam pelbagai aspeknya. Disanalah desa, selalu
memiliki legitimasi hukum, sosial dan kultural yang kuat dalam kesehariannya.
Kenyataan bahwa desa-desa di Indonesia sesungguhnya telah ada sebelum negara Indonesia terbentuk, di samping mengenai tingginya kemandirian yang dimilikinya telah diakui oleh pemerintah/negara. Tumbuhnya minat warga untuk berperan aktif dalam proses politik dan kegiatan terlihat dari keinginan warga memperkuat lembaga-lembaga politik lokal dan forum-forum kewargaan. Semenjak dibentuknya badan permusyawaratan desa--mengikuti pesan otonomi-- maka kebangkitan partisipasi warga mulai semarak. Baik itu berbasis asosiasi-asosiasi kepartaian, utusan dusun, kelompok-kelompok kepentingan berlandas pekerjaan, kaum profesional, atau golongan kepemudaan dan perwakilan perempuan. Kehadiran parlemen warga komunitas, telah menjadi harapan baru bahkan impian yang ditunggu-tunggu agar menjadi saluran efektif atas aspirasi warga dalam pembangunan. Lembaga ini dapat berperan dalam fungsi legislasi, kontrol formal, dan pemberdayaan (empowering) masyarakat. Misalnya, merumuskan program kerja, penetapan penganggaran keuangan serta prioritas pelaksanaan pembangunan telah dilakukan dengan cara koordinasi dan konsultasi pemerintah desa dengan masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Termasuk penyusunan peraturan desa.
Kenyataan bahwa desa-desa di Indonesia sesungguhnya telah ada sebelum negara Indonesia terbentuk, di samping mengenai tingginya kemandirian yang dimilikinya telah diakui oleh pemerintah/negara. Tumbuhnya minat warga untuk berperan aktif dalam proses politik dan kegiatan terlihat dari keinginan warga memperkuat lembaga-lembaga politik lokal dan forum-forum kewargaan. Semenjak dibentuknya badan permusyawaratan desa--mengikuti pesan otonomi-- maka kebangkitan partisipasi warga mulai semarak. Baik itu berbasis asosiasi-asosiasi kepartaian, utusan dusun, kelompok-kelompok kepentingan berlandas pekerjaan, kaum profesional, atau golongan kepemudaan dan perwakilan perempuan. Kehadiran parlemen warga komunitas, telah menjadi harapan baru bahkan impian yang ditunggu-tunggu agar menjadi saluran efektif atas aspirasi warga dalam pembangunan. Lembaga ini dapat berperan dalam fungsi legislasi, kontrol formal, dan pemberdayaan (empowering) masyarakat. Misalnya, merumuskan program kerja, penetapan penganggaran keuangan serta prioritas pelaksanaan pembangunan telah dilakukan dengan cara koordinasi dan konsultasi pemerintah desa dengan masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Termasuk penyusunan peraturan desa.
Fakta demikian merupakan perubahan mendasar tata politik
di tingkat bawah. Dari situlah, partisipasi warga desa dibangun oleh landasan
nilai-nilai ideal sebagai berikut (a) Unsur kesadaran yang lahir dari dalam
dalam diri warga desa secara otentik untuk terlibat dalam proses politik dan
pembangunan. Nilai inilah yang membedakan partisipasi dengan dengan mobilisasi
atau instruksi. (b) Penempatan diri warga sebagai subjek kebijakan dan
pembangunan. Jika warga desa ditempatkan sebagai subyek dan bukan sebagai objek
maka partisipasi menjadi dapat diukur (c) Peran-peran aktif yang sifatnya
dialogis sehingga menjamin kesetaraan antar warga. Hal ini mencakup tidak
adanya tingkatan (stratifikasi) berdasarkan apapun dalam mengukur keterlibatan
warga, tidak mengenal tingkat pendidikan, kekayaan, agama, suku maupun kelompok
manapun, sehingga akan menghindari adanya diskriminasi (d) Suasana kebersamaan
(kolektif) antar warga sebagai bentuk jalinan solidaritas sosial. Dengan
demikian partisipasi didekatkan dengan semangat kebersamaan warga, tidak
terbatas pada tingkat peran individual semata tetapi bersifat kolektif (e)
Pelembagaan dan keberlanjutan (institutionalisation and sustainability).
Maksudnya adalah terbangunnya kerangka aturan main dan koridor hukum yang
disepakati bersama serta memiliki daya kekuatan yang panjang dalam memformulasi
partisipasi warga. Sehingga membesarnya partisipasi bukan bersifat destruksi
atas konstitusionalisme tetapi justeru memiliki korelasi positif dalam hal
terbangunnya sistem yang lebih baik.
Merujuk dinamika diatas, partisipasi meliputi
keterlibatan rakyat dalam proses pembuatan-keputusan, dalam pelaksanaan
program, andil mereka dalam manfaat program pembangunan dan keterlibatan mereka
dalam usaha mengevaluasi program itu. Partisipasi juga berkaitan dengan usaha
terorganisir untuk meningkatkan kontrol atas sumberdaya dan institusi regulasi
dalam situasi sosial tertentu. Pembangunan yang partisipatif, berarti merupakan
bentuk kemitraan yang dibangun berdasarkan dialog diantara berbagai macam
pelaku, baik dari masyarakat sipil, pemerintah, sektor swasta, organisasi
swadaya masyarakat yang selama dialog tersebut agenda disusun bersama,
pandangan lokal dan pengalaman asli secara berhati-hati diusahakan dan dihargai
sebagai dasar pemikiran bersama menuju konsepsi kemandirian desa.
Ada beberapa latar belakang yang mendorong bahkan mengharuskan
daerah, termasuk Kepulauan Selayar, melakukan pembaharuan desa. Pertama,
konteks empirik. Desa merupakan entitas kehidupan (pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan) yang penting bagi Kepulauan Selayar. Secara administratif
Kabupaten Kepulauan Selayar memiliki 11 kecamatan, 74 Desa dan 7 Kelurahan,
suatu jumlah besar yang menghadirkan tantangan yang kompleks. Apalagi sebagai
wilayah kepulauan yang memiliki 130 gugusan pulau besar maupun kecil, dan
persebaran desa yang berada di wilayah kepulauan tentu membutuhkan upaya khusus
dan strategi tersendiri dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Sejauh ini
Selayar mulai menggeliat dan bangkit dari status daerah tertinggal, meski masih
banyak desa yang berpredikat sebagai desa tertinggal, sebagian di antaranya
mengalami keterisolasian secara geografis dengan akses pelayanan publik yang
masih terbatas. Kedua, para pihak di level desa terus-menerus mempunyai
aspirasi yang kuat akan perubahan desa.
Berbeda dengan kondisi dulu, era perubahan sekarang
menghadirkan para sarjana yang masih muda menjadi pemimpin desa. Mereka
mempunyai wawasan yang lebih luas dan sikap yang kritis sehingga melahirkan
harapan-harapan baru yang mendorong perubahan desa. Mereka selalu menyampaikan
harapan dan tuntutan agar pemerintah melahirkan kebijakan yang konkret, mulai
dari kebijakan untuk memperjelas kedudukan-kewenangan desa, pengembangan
kapasitas lokal, maupun peningkatan kesejahteraan. Ketiga, konstitusi dan
serangkaian regulasi telah memberikan amanat terhadap pembaharuan desa. UUD
1945 sejak awal mengamanatkan penghormatan dan pengakuan terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat, termasuk di dalamnya desa di Kepulauan Selayar. Secara
generik UU No. 32/2004, Peraturan Pemerintah No. 72/2005 beserta aturan-aturan
pelaksanaannya telah memberikan arah perubahan desa untuk melahirkan desa yang
lebih mandiri, mempunyai tata pemerintahan yang baik dan pencapaian
kesejahteraan. Keempat, konteks kekinian yang memungkinkan dan mendorong
perubahan.
Pemerintah daerah, terutama pimpinan daerah Bupati dan
Wakil Bupati mempunyai komitmen yang besar untuk melakukan perubahan terhadap
desa, termasuk memberikan kepercayaan besar terhadap desa untuk mengelola,
antara lain melahirkan kebijakan DAUDesa (Dana Alokasi Umum Desa) yang cukup
besar setiap desa menerima hampir 300-400 juta. Pada saat yang sama dukungan
terus mengalir dari sektor ketiga. NGOs seperti AUSAID melalui ACCESS, UNICEF,
PNPM berkarya secara dedikatif mengorganisir masyarakat, memberikan pendidikan
dan advokasi kebijakan kepada pemerintah daerah untuk memperbaiki kesejahteraan
dan perubahan desa. Komitmen dan kemitraan yang baik ini merupakan sebuah
investasi politik jangka panjang yang merintis pembaharuan menuju kemandirian
desa . Kebijakan Pemerintah kabupaten mewujudkan desa yang mandiri,
bagaimanapun masih menghadapi hambatan dan tantangan yang serius. Bukan berarti
dengan alokasi DAUDesa yang tinggi serta merta bisa mengkonstruksi kemandirian
desa secara otomatis. Secara umum, para aparatur desa telah mengetahui arah
pembaruan desa menuju desa otonom dan mandiri. Namun demikian mereka kurang
memiliki pengalaman dan acuan yang memadai untuk mengawal terwujudnya
pemerintahan desa seperti itu. Pemkab memang belum memiliki blue print dan peta
jalan untuk mewujudkan desa seperti itu, walaupun dilihat Pemkab telah
menujukkan kesungguhannya untuk mendorong terwujudnya desa yang otonom dan
mandiri dengan mengeluarkan kebijakan DAU Desa.
Kinerja pemerintahan desa sangat dipengaruhi oleh
kapasitas individu para aparatur dan satu faktor penting yang mempengaruhi
kapasitas mereka ini adalah latar belakang sosialnya. Hal pertama, yang sangat
berpengaruh adalah dari segi komposisi gender, mengungkapkan bahwa pada umumnya
aparatur desa adalah laki-laki. Sedikitnya partisipasi perempuan dalam pemerintahan
desa menunjukkan bahwa masyarakat Selayar masih sangat kuat kultur patriarki.
Kuatnya dominasi laki-laki dalam pemerintahan desa itu dapat berpotensi
melahirkan kebijakan dan program yang bias gender. Kedua, sebagian besar para
perangkat desa termasuk kategori usia produktif sehingga mereka diharapkan
memiliki kapasitas yang memadai untuk menjalankan fungsinya. Maksud dari usia
produktif itu adalah mereka yang masuk dalam kategori angkatan kerja, dengan
skala umur 18-55 tahun.
Meskipun demikian aparatur desa memiliki keterbatasan
ketrampilan untuk melaksanakan tupoksinya dan memahami dengan baik seluruh
produk regulasi, yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugasnya. Ketiga,
Lembaga-lembaga pemerintahan dan kemasyarakatan yang kurang efektif menjalankan
peran dan fungsinya masih merupakan tugas yang harus terus menerus didorong.
Kesadaran kritis warga mulai muncul secara kolektif dalam mendorong dan
memperjuangkan hak-haknya, akan tetapi peningkatan kapasitas terhadap warga
harus terus dilakukan agar perubahan yang diharapkan lebih kongkrit pada aksi -
aksi kolektif. Rendahnya kapasitas pengurus lembaga-lembaga di desa untuk
menjalankan peran dan fungsinya, dan rendahnya kemauan politik pemerintahan
desa untuk melibatkan secara penuh warga dalam proses-proses pembangunan juga
menjadi catatan penting bagi kita untuk mendorong lahirnya reformasi yang akan
berdampak bagi meningkatnya kemandirian warga dalam melaksanakan kewajiban dan
menuntut kewajibannya. Kempat, masih terbatasnya Pengetahuan Aparatur Mengenai
Posisi dan kewenangan desa Sebagai Pemerintahan Di Tingkat Lokal. Sebagian
besar aparatur mengetahui posisi pemerintahan desa secara umum, tetapi kurang
paham tentang otonomi sesuai regulasi yang ada. Masalah tesebut muncul karena
mereka kurang mendapatkan akses untuk mengikuti sosialisasi dan dokumen tentang
produk regulasi tersebut tidak disebarkan merata ke setiap desa. hal ini
berdampak pada lemahnya barggaining politik desa dalam penyelenggaraan
pembangunan. Kelima, Terbatasnya kapasitas aparatur dalam melaksanakan tugas di
bidang penyusunan produk kebijakan, pembangunan dan pelayanan publik. Data
lapangan mengungkapkan secara rinci kelemahan tersebut, yaitu pertama,
kapasitas aparatur di dalam memahami regulasi relatif lemah. Umumnya desa hanya
memiliki regulasi tentang RPJMDesa dan APBDesa, yang menjadi syarat bagi
pencairan dana DAUDesa. Hanya sebagian kecil desa yang merumuskan peraruran
desa di luar APBDesa dan RPJMDesa, seperti Perdes tentang retribusi
Desa/Sumber-sumber yang bisa simobilisasi sebagai pendapatan asli desa. Kedua,
kapasitas aparatur dalam menyelenggarakan perencanaan masih minim.
Kelemahan dalam menyelenggarakan perencanaan terlihat
pada berbagai dokumen perencanaan. Dengan kata lain, teknis perencanaan seperti
pemetaan prioritas, penetapan program hingga strategi pelaksanaan dan mekanisme
belum terlembaga dengan baik dan menjadi mekanisme perencanaan desa. Bahkan
masih banyak desa yang me-rental-kan pembuatan perencanaan desanya dengan pihak
konsultan yang notabene orang dari luar desa setempat. Tentu hal ini akan
berpengaruh pada kualitas, ketajaman, dan kedalaman substansi perencanaan
pembangunan itu sendiri. Kedalaman partisipasi masyarakat dan perempuan dalam
penyusunan perencanaan juga harus diperhatikan, masih banyak juga desa-desa
yang masih mengabaikan partisipasi dan pelibatan perempuan dalam setiap
pengambilan keputusan publik di desa, termasuk didalamnya penyusunan
perencanaan desa dan penganggaran desa. Selain masih lemahnya kapasitas
teknokratis dalam merumuskan mekanisme, desa belum memiliki dan para
aparaturnya juga belum terbiasa menggunakan data dengan baik. Untuk mengatasi
permasalahan ini biasanya mereka meminta bantuan fasilitator, yang berasal dari
LSM/proyek-proyek lain. Ketiga, rendahnya kapasitas aparatur dalam mengelola
administrasi perkantoran, termasuk didalamnya data based desa. Keempat,
aparatur masih lemah kapasitasnya dalam melaksanakan pelayanan publik.
Rendahnya kapasitas aparatur terlihat dalam pengelolaan managemen birokrasi.
Para aparatur cenderung tidak bekerja secara formal dengan jam kerja yang baku,
dan melaksanakan tugas dengan penuh displin dan mengikuti standar kerja di
lembaga pemerintahan. Para perangkat juga tidak memiliki kegiatan rutin yang
terencana secara koordinatif sehingga hasilnya kurang maksimal.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, para responden
mengajukan beberapa usulan. Prinsip-prinsip pemberdayaan warga, pengarusutamaan
gender dan warga miskin dan kelompok terpinggirkan lainnya bukan hanya perlu
diterapkan pada proses perencanaan dan penganggaran pembangunan mulai dari
desa/kelurahan, kecamatan sampai kabupaten, akan tetapi juga pada setiap
proses-proses pelaksanaan pelayanan publik oleh pemerintahan di setiap level
pemerintahan sekaitan dengan bagaimana memberi pelayanan yang maksimal pada
masyarakat.
Kemandirian Desa memandang dan menempatkan Desa sebagai
entitas yang utuh. Di dalam Desa terdapat masyarakat atau warga, lembaga
kemasyarakatan dan juga institusi pemerintah desa; juga mengandung wilayah dan
sektor-sektor pelayanan publik. Kemandirian Desa tentu tidak bisa hanya
mencapai target masyarakat dengan pendekatan sektoral, tetapi harus menyeluruh
dan seimbang. Kemandirian desa hendaknya mengutamakan warga, institusi
pemerintahan Desa, dan organisasi warga sebagai ujung tombak pelaksanaan
pembangunan maupun pelayanan publik di masyarakat. Kemandirian desa bukan
sesuatu yang parsial, harus melihat secara keseluruhan. Baik dalam kontek
kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan, kemandirian dalam pelayanan dasar, kemandirian
pemerintahan desa, kemandirian dalam kelembagaan masyarakat, kemandirian dalam
pemberdayaan warga. Mari kita bersama-sama membangun kepulauan Selayar dari
desa..!
Salam kemandirian Desa.
Sumber : Joko Purnomo. Selayaronline.com