Pengakuan,
penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat bisa menjadi
strategi dalam memberdayakan adat, kearifan lokal dan budaya masyarakat
desa. Mengawal implementasi Undang-Undang No 6 tahun 2014 secara
konsisten dan berkelanjutan melalui fasilitasi, supervisi dan pendampingan
serta memastikan perangkat peraturan pelaksanaan sejalan dengan substansi, jiwa
dan semangat UU Desa harus menjadi pegangan dalam membuat regulasi.
“Mempersiapkan
pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasikan pengakuan
hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat telah menjadi
prioritas nasional. Penetapan 50 desa adat telah tercantum dalam agenda
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2014-2019,” tutur Hanibal
Hamidi, Direktur Pelayanan Sosial Desa, Direktorat Jenderal Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT).
Ketahanan
sosial budaya merupakan salah satu dari tiga elemen penting desa mandiri selain
ketahanan ekonomi dan ketahanan ekologi. Sedangkan ‘desa membangun’
merupakan agenda prioritas Nawa Cita, membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Pembangunan desa diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kemandirian Desa
meliputi percepatan pemenuhan kebutuhan pelayanan umum dan pelayanan dasar,
penyelenggaraan pemerintahan, peningkatan kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat, pengembangan ekonomi di perdesaan sesuai dengan kearifan
lokal. Sedangkan sasaran pembangunan desa adalah mengurangi jumlah desa
tertinggal sampai 5.000 desa dan meningkatkan jumlah desa mandiri sedikitnya
2.000 desa.
Akan
tetapi, membangun desa tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak
sekali kendala yang terjadi, mulai dari persoalan yang bersifat substansi
paradigmatik, tumpang tindih regulasi, hingga hal-hal yang bersifat teknis.
“Pertarungan
gagasan berkembang sejak pembahasan RUU tentang Desa antara kubu yang
berorientasi pada kepemerintahan (governmental approach) dengan kubu yang
berbasis kemasyarakat (community approach). UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa merupakan hasil kompromi,” tandas Sadu Wasistiono, guru besar Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Pertarungan
gagasan tersebut dilatarbelakangi sejarah yang panjang mengenai desa, serta
pengalaman, persepsi, kepentingan, idealisme dari masing-masing pihak.
Kelahiran UU Nomor 6 Tahun 2014 masih menyisakan banyak pekerjaan, sehingga
kontroversi yang termuat dalam UU tersebut dapat diimplementasikan secara
jelas, tanpa keluar dari landasan filosofis dan paradigma yang digunakannya.
Lebih
lanjut, Profesor Sadu yang pernah menjabat sebagi rektor IPDN itu mengungkapkan
bahwa lahirnya kementerian baru yang menangani Desa, PDT dan Transmigrasi,
merupakan isyarat politik bahwa pemerintah era Joko Widodo-Jusuf Kalla akan
memberi peran lebih besar pada desa sebagai sebuah komunitas, bukan sebagai
“satuan pemerintahan semu” seperti pada masa-masa sebelumnya.
Terkait
dengan desa adat, Profesor Sadu menyarankan, dalam rangka memenuhi sila kelima
Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, hendaknya
pengaturan tentang desa adat dengan hak -haknya yang melekat tidak dikorbankan
atas nama investasi atau pertumbuhan ekonomi dan istilah-istilah lain yang
sejenis.
Sumber : http://ditjenppmd.kemendesa.go.id