BERDESA.COM
– Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan pentingnya
pendampingan desa agar desa mampu mandiri. Berdasarkan Peraturan Menteri Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015, pendampingan
desa merupakan kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalu
asistensi, pengorganisasian, pengarahan, dan fasilitasi desa. Namun, hingga
awal tahun 2016, sebagian besar desa di Indonesia masih belum mendapatkan
pendampingan. Cakupan pendampingan belum bisa menjangkau 72 ribuan desa di
seluruh nusantara. Belum lagi soal kriteria atau kualitas pendamping desa.
Terkait
hal tersebut, Co-Founder Usaha Desa, Farid Hadi Jelivan menyatakan bahwa selama
ini terjadi penyempitan makna pendamping desa. “Pendamping desa hanya dipahami
sebagai orang yang direkrut oleh pemerintah untuk melakukan pendampingan desa.
Padahal kan tidak, sebab siapapun bisa menjadi pendamping desa asalkan memiliki
kepedulian tinggi terhadap desa. Hal itu bisa berasal dari perguruan tinggi
ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM),” tegasnya, Selasa, (5/1) di kantor Usaha
Desa, Samirono, Yogyakarta.
Peraturan
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015
menjelaskan pendampingan desa dapat dilakukan oleh beberapa unsur yaitu tenaga
pendamping profesional, Kader Pemberdayaan Masyarakat, dan pihak ketiga (LSM,
Perguruan Tinggi, Ormas, Perusahaan). Masing-masing unsur pendamping tersebut
telah memiliki tugas pokok dan fungsinya yang berbeda.
Sebenarnya
pemerintah desa, menurut Farid dapat melakukan rekrutmen pendamping desa secara
mandiri tanpa harus menunggu pemerintah. Ia juga berharap pemerintah desa agar
lebih aktif untuk memberdayakan dirinya sendiri. “Jika pemerintah desa tak
mendapatkan pengetahuan dari pendamping desa hasil rekrutmen pemerintah. Maka,
pemerintah desa harus lebih aktif menggandeng pihak lain. Sebab, ilmu itu kan
tidak hanya dari pendamping desa,” pungkasnya.