Oleh : Bapak Sutoro Eko
Tanjung
Pinang, 26-27 September 2017. Hari pertama saya memberikan kuliah umum
"Desa Membangun Indonesia (DMI)" kepada civitas akademika Prodi Ilmu
Pemerintahan, FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji. Seorang mahasiswa
berkomentar: "Bagaimana mungkin desa bisa membangun Indonesia, dia
membangun dirinya sendiri saja tidak mampu?"
Pertanyaan
itu mengingatkan saya akan pidato Ronald Reagan, Presiden AS, tahun 1982:
"Pemerintah bukanlah solusi atas masalah bangsa kita, karena pemerintah
merupakan merupakan bagian dari masalah". Cara pandang Reagan inilah yang
menjadi tonggak kehadiran neoliberalisme: mempreteli fungsi pemerintah, seraya
memindahkannya ke ranah pasar.
DMI
berangkat dari konteks masa lalu: state driven development (negara membangun
desa), yang telah berhasil membuat mobilitas (kemajuan) secara tidak merata,
tetapi tidak berhasil menciptakan transformasi (perubaban stuktur, budaya dan
institusi). Ada dilema negara: kalau negara tidak hadir salah, kalau hadir
keliru.
Meski
negara dominan, tetapi negara membangun desa itu, hanya merupakan residu dari
pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi gencar masuk desa yang melakukan
eksploitasi terhadap tanah, sehingga membuat krisis aset dan akses. Dalam
kondisi ini lahirlah community driven development (CDD) yang neolib dalam
bentuk PNPM. CDD bekerja dalam negara, terhadap negara, melalui negara, tatapi
peran negara dipreteli. Desa, sebagai negara kecil, menjadi semakin lemah.
DMI
adalah cara pandang dan semangat baru. Desa, sebuah negara kecil, bukan menjadi
obyek penerima manfaat berbagai pembangunan, tetapi menjadi subyek pemberi
manfaat kepada masyarakat setempat. Jika ini bekerja secara masif, dekat dan
inklusif maka akan punya sumbangan besar pada Indonesia.
***
Hari
kedua kami menyeberang ke Pulau Mantang, berdiskusi dengan para kepala desa,
perangkat desa, LKD dan dilanjut dengan BPD. Desa di Kabupten Bintan sekarang
mempunyai APBDesa sekitar 2 M, dengan komposisi Alokasi Dana Desa (APBD) lebih
besar ketimbang Dana Desa (APBN). Bagi desa, UU Desa berikut ADD dan DD
merupakan berkah besar, yang bisa mereka manfaatkan untuk mengurus banyak
kepentingan masyarakat setempat.
Namun
masalah klasik selalu hadir. Para kades curhat banyak tentang aturan dan
administrasi yang sangat menyulitkan, mulai dari pencairan, pengadaan barang
jasa, sampai pelaporan. Mereka dibikin takut, yang membuat mereka dihantui oleh
korupsi dan penjara. Saat ini di Bintan ada dua kades yang masuk penjara. Yang
satu karena penyimpangan tanpa bisa mempertanggungjawabkan. Satunya lagi karena
salah alokasi (mal administrasi) yang digoreng secara politik.
Di
setiap tempat cenderung begitu. UU mengalami distorsi dan reduksi hanya menjadi
proyek ADD dan DD. Pendamping desa dipaksa oleh keadaan hanya menjadi konsultan
keuangan desa, yang pernah saya sebut sebagai mesin antipolitik. Kepala desa
setiap saat hanya ngurus proyek, tanpa bisa tumbuh menjadi pemimpin lokal.
Masalah
itu saya sebut sebagai rezim kontrol (teknokratis dan birokratis) terhadap desa
atas nama menyelamatkan uang negara. Dulu RUANG partisiasi dibuka bahkan
dimobilisasi karena uang tidak ada UANG atau uangnya terbatas. Perencanaan desa
melalui Musrenbang Desa direkayasa dan dimobilisasi dengan rubrik
"perencanaan partisipatif" tetapi hasilnya adalah perencanaan yang
diusulkan ke atas, bukan perencanaan yang diputuskan secara politik dan otonom
oleh desa. Hari ini UANG banyak tapi RUANG (otonomi dan demokrasi) dikontrol
oleh rezim teknokratis-birokratis, ditambah dengan kehadiran para penumpang
gelap yang bikin takut.
Pada
level nasional dan daerah rezim keuangan yang sangat berkuasa itu harus
diadvokasi terus. Kehendak Presiden untuk melakukan deregulasi juga harus masuk
ke ranah rezim keuangan desa. Pada level mikro lokal memang ada beberapa
pilihan yang bisa ditempuh oleh kepala desa:
Pertama,
patuh sepenuhnya pada rezim keuangan dan aparatus negara. Cara ini akan membuat
selamat dan beres secara administratif. Tetapi pasti desa akan kehilangan
hakekat dan kemandirian. Kepala desa tidak tumbuh menjadi pemimpin rakyat desa,
kecuali hanya menjadi petugas satker atau mandor proyek.
Kedua,
kades menghindari rezim administrasi keuangan desa. Kades bisa hadir sebagai
pemimpin tanpa harus terlibat jauh dalam urusan administrasi. Kades tidak perlu
belanja (semen, aspal, pasir, batu, besi dll) sendiri, sebab kalau belanja
sendiri pasti kuitansinya hilang. Maksud saya kades yang biasa belanja sendiri
itu adalah kades yang punya moral hazard untuk melakukan monopoli dan
menyimpang. Saiful, Kades Mantang Besar, menempuh jalan menghindari rezim
keuangan ini, sembari menciptakan pembagian kerja yang baik dengan Sekdes dan
perangkat desa lainnya. Kades hanya cukup tahu prinsip dasar keaungan, Sekdes
yang mengurus detailnya.
Ketiga,
kades melakukan siasat lokal dengan prinsip "melakukan hal yang benar
dengan cara yang 'benar'". Artinya kades tetap bertahan dengan hakekat
(kewengan desa, kepentingan masyarakat setempat, musyawarah desa), seraya
menyiasati administrasi. Yang penting kades tidak mencuri uang yang merugikan
negara dan/atau memperkaya dirinya sendiri.
Keempat,
kades secara kolektif melakukan negosiasi dan advokasi kepada supradesa untuk
merombak kedunguan rezim keuangan desa. Ingat, dulu UU Desa lahir juga karena
negosiasi dan advokasi yang dilalukan oleh aksi kolektif kades. Sekarang kades
bisa dibilang payah kalau hanya tunduk tetapi mengeluh terus, tanpa berbuat
aksi kolektif.
Sumber : Status Facebook Sutoro Eko Tanggal 28/09/2017
Sumber : Status Facebook Sutoro Eko Tanggal 28/09/2017