Tertangkapnya enam oknum BPK dan
seorang oknum kementrian PDTT (Jurnal.Com. sabtu,27/05/2017) mengejutkan banyak
pihak. Apalagi oknum PDTT yang ditangkap, pejabat setingkat Dirjen, ketua UPP
(Unit Pemberantasan Pungutan Liar) Kemendes PDTT yang baru dibentuk oleh Mentri
Eko Putro Sandjojo.
Peristiwa OTT oleh KPK
mengindikasikan bagaimana semrawutnya kondisi Managerial pemerintahan di
kementrian PDTT yang digawangi oleh Mentri Eko Putro Sandjojo.
Kondisi demikian, makin terasa jika
dihubungkan dengan beban desa dalam pengelolaan roda pemerintahan desa.
Kesalahan dalam pengelolaan, akan berakibat patal. Terutama dalam pengelolaan
dana desa. Dana desa yang salah kelola, akan menjadi sasaran tembak BPK dan
Inspektorat.
Bukankah wajar, jika penggunaan dana
desa harus diawasi, dan penyalah-gunaan dalam pelaksanaan dana, harus
memperoleh sanksi. Dan pihak yang paling berkompeten dalam mengaudit dana desa,
Inspektorat dan BPK.
Logika yang dibangun diatas,
sepintas, terlihat benar dan tidak salah. Benar dan tidak salah, jika saja,
segala perangkat pendukungnya telah dipersiapkan secara matang oleh kementrian
PDTT. Namun, jika hal demikian belum dilakukan. Maka, apa yang dilakukan oleh
Inspektorat dan BPK adalah sesuatu yang salah. Terdapat sesat pikir pada
tindakan yang dilakukan Inspektorat dan BPK.
Dalam tinjauan sesat pikir yang
dilakukan oleh Ispektorat dan BPK saya membatasi diri hanya pada penggunaan
dana dalam pekerjaan infrastruktur. Sedangkan untuk bidang yang lain, akan saya
bahas pada tulisan yang lain.
Kondisi kekinian yang terjadi pada
desa.
Kondisi kekinian yang terjadi di
desa, dapat digambarkan, desa dibiarkan berjalan tanpa di dampingi oleh Kader
Tehnik Desa dan Pendamping Desa Tekhnik Infrastruktur (PDTI). Jumlah mereka
bukan tidak ada sama sekali. Melainkan sangat minim, jika dibandingkan dengan
kebutuhan yang harus dipenuhi. Sebagai contoh, Provinsi Banten. Dari kebutuhan
PDTI sebanyak 110 PDTI hanya terisi sebanyak 15 PDTI. Artinya, hanya terisi
sebanyak 13,64 % dari kebutuhan PDTI. Hal yang sama, hampir terjadi pada semua
Provinsi di Indonesia.
Akibatnya, sebanyak 86,36 %
kecamatan yang tanpa didampingi tenaga PDTI akan mencari tenaga Tekhnik dari
luar kecamatan dan luar dari PDTI. Sebuah langkah terobosan cerdas yang
dibenarkan secara aturan. Namun, dari kondisi inilah semua masalah berawal.
Indikasi Penyalah gunaan Dana yang
dilakukan Desa.
Dalam pemeriksaan (audit) yang dilakukan
oleh Inspektorat atau BPK, maka dasar kerja yang mereka lakukan adalah
pemisahan secara tegas antara rencana, pelaksanaan dan hasil akhir yang
diperoleh. Tanpa melihat latar belakang, mengapa hal demikian dapat terjadi.
contohnya, Jika pada rencana
anggaran biaya, pembuatan pekerjaan jalan dengan rabat beton misalnya, tertera
panjang 100 meter, maka hasil akhir yang dilihat oleh Inspektorat dan BPK
haruslah 100 meter. Jika kurang dari 100 meter, maka desa terindikasi melakukan
penyalah gunaan dana Infrastrukture.
Padahal, pada kenyataannya, desa
tidak melakukan penyalah gunaan dana infrastruktur. Lalu, dimana masalahnya.
Sehingga timbul masalah dengan kesimpulan akhir, telah terjadi penyalah gunaan
dana Infrastrukture.
Untuk menjawab pertanyaan ini,
kemungkinannya adalah sebagai berikut :
Satu, Desa menggunakan jasa non
PDTI.
Ketika desa ingin merencanakan jalan
rabat 100 meter, Desa memberikan data pada pembuat RAB (Rencana Anggaran Biaya)
non PDTI, berupa jumlah nominal dana tersedia sesuai RAPBDes, panjang rencana
jalan dan daftar survey harga. Setelah dihitung oleh non PDTI ternyata, panjang
jalan yang dimungkinan dengan harga nominal yang sesuai APBDes hanya cukup 80
m. data ini, lalu diberikan pada desa, Namun, desa bersikeras agar dana
tersebut cukup untuk 100 m. Akibatnya, sang pembuat RAB non PDTI melakukan
modifikasi berbagai hal. Bisa dengan memperkecil harga beli material, atau
menambah swadaya tenaga kerja (HOK) atau dengan merubah analisa. Apa yang terjadi
kemudian?. Ketika pelaksanaan dilakukan, harga material yang dibeli oleh TPK
tetap seharga material ketika dilakukan survey. Demikian juga jumlah swadaya
tenaga kerja, tidak mungkin digenjot sebanyak yang sesuai pada RAB. Akibatnya,
ketika TPK dengan segala upaya penghematan telah berupaya pada pekerjaannya,
maka hasil akhir yang mampu mereka peroleh hanya 90 m.
Dua, Desa menggunakan Jasa non PDTI.
Karena, prinsip awalnya tenaga akhli
non PDTI hanya memikirkan fee yang bakal mereka peroleh ketika membuat RAB.
Maka, non PDTI hanya memerlukan data berapa besar nominal pekerjaan sesuai
APBDes dan berapa target volume yang diingnkan desa. Kemudian, mengerjakan RAB
sesuai permintaan sang pemberi order, dalam hal ini desa. Maka, akibat yang
terjadi, hasil akhir akan sama seperti yang terjadi pada point satu.
Tiga, Menjadi obyek para Tenaga Ahli
Kabupaten.
Para tenaga Ahli, akan berusaha
mengumpulkan desa-desa pada kecamatan yang tak memiliki PDTI. Lalu, dengan
bahasa pembinaan, dibuatlah RAB secara massal dan dengan waktu singkat. Mereka
yang dibina adalah tenaga desa, yang sama sekali awam tentang Tekhnis. Lalu,
dengan biaya pembinaan yang tidak kecil, selesailah RAB yang dikerjakan. Dengan
cara pembinaan yang ngebut dan dikerjakan tenaga awam, maka hasil yang
diperoleh sangat meragukan, jika tidak dapat dikatakan amburadul.
Dari ketiga kemungkinan diatas,
apakah desa melakukan penyalah gunaan dana? Sama sekali tidak, desa tidak
melakukan penyalah gunaan dana.
Empat, Pendampingan yang Mutlak
dibutuhkan.
Okelah, urusan pembuatan RAB sesuai
dengan kondisi ideal. Apakah masalahnya selesai? Ternyata belum. BPK dan
Inspektoran memerlukan laporan pelaksanaan, bagaimana laporan penggunaan dana
(LPD), bagaimana dana dicairkan (RPD), bagaimana kualitas Material yang
digunakan, dan kapan dana berikutnya dicairkan (verifikasi). Untuk mengawasi
seluruh tahap pelaksanaan itu, kehadiran PDTI mutlak dibutuhkan desa.
Pertanyaannya, apakah non PDTI mau mendampingi proses pelaksanaan ini? Hemat
saya, hal ini sulit dilakukan.
Dengan melihat empat kemungkinan
diatas. Apakah benar jika desa dibidik oleh BPK dan Inspektorat terhadap
tuduhan penyalah gunaan dana infrastruktur yang dilakukan desa. Meski desa
memang tidak melakukannya.
Jika Inspektorat dan BPk tetap pada
prinsipnya, ingin melakukan sanksi terhadap penyalah gunaan dana desa
Infrastrukture. Maka, kondisi inilah yang saya sebut sebagai sesat pikir BPK
dan Inspetorat.
Lalu, siapa yang paling bertanggung
jawab atas fenomena diatas? Dengan tegas, saya katakan, kementrian PDTTlah yang
paling bertanggung jawab. Merekalah pihak yang paling dulu ditangkap oleh BPK
dan Inspektorat.
Desa hanyalah korban dari kebijakan
yang dilakukan PDTT. Kebijakan yang berimbas pada tidak terpenuhinya kuota
kebutuhan PDTI pada setiap kecamatan. Apapun alasannya. Bukankah pemerintahan
Jokowi sudah berlangsung selama tiga tahun. Lalu, apa saja tugas yang mereka
lakukan, hingga soal perekrutan PDTI saja, hingga kini belum selesai? Wallahu
A’laam.
Sumber : http://www.karebadesa.id
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....