Sutoro Eko
kpd
| Empat tahun lalu, ketika persidangan resmi RUU Desa tengah berlangsung, ada
masukan dari para pihak tentang relevansi pengaturan reforma agraria dan
investasi yang masuk ke desa dalam kerangka desa. Bagaimanapun agraria dan
investasi sangat dekat dan lekat dengan desa. Dua isu itu sempat menjadi bahan
perdebatan pada tingkat tim ahli maupun sidang resmi. Namun ada penegasan bahwa
UU Desa bukan mengatur tanah/agraria dan investasi. Keduanya ada regulasi
tersendiri. Karena itu, setelah UU Desa lahir, banyak kritik dari aktivis
reforma agraria karena UU Desa jauh dari reforma agraria.
Meski
tidak eksplisit, ada beberapa klausul penting dalam UU Desa yang relevan dengan
reforma agraria. Atau setidaknya memandang reforma agraria dari lensa desa.
Pertama,
teritorialisasi dan yurisdiksi. Menurut rezim pemerintahan, semua wilayah
Indonesia dibagi habis ke dalam provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan
desa/kelurahan. Definisi dan syarat desa adalah memiliki batas-batas wilayah
yang tegas, sebagai kuasa yurisdiksi atas teritori. Namun rezim hutan/kebun
juga menciptakan sendiri wilayahnya, yang berada di luar kontrol rezim
pemerintahan, sehingga hutan/kebun menjadi “negara dalam negara” atau “negara
hutan” dan “negara kebun”. Para aktivis sering menyebut ada sekitar 30 ribu
desa yang nebeng berada dalam wilayah “negara hutan” dan “negara kebun” itu,
sehingga desa tidak memiliki yurisdiksi wilayah secara berdaulat. Jumlah itu
perlu dipastikan kembali. Kolega saya Bupati Soekirman, menyebut Serdang
Bedagai memiliki sejumlah 44 desa yang berada dalam wilayah kebun. Padahal
masyarakat lokal itu sudah ada sebelum “negara kebun” dibuat, meskipun setelah
“negara kebun” dibuat, banyak warga yang berbondong-bondong ke wilayahnya.
Namun karena desa tidak memiliki kuasa yurisdiksi atas wilayah kebun, maka
sebenarnya desa itu tidak layak disebut desa, dan akibatnya desa – yang hanya
label itu – tidak memiliki kuasa untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat.
Dalam
Nawacita bidang desa (yang dulu saya tulis), sebenarnya ada komitmen untuk
membebaskan desa-desa dari kantong-kantong hutan/kebun itu. Ini merupakan hasil
dialog saya dengan para kepala desa dan aktivis di berbagai daerah yang
berkepentingan terhadap pembebasan desa dari “negara hutan” dan “negara kebun”.
Tetapi sampai sekarang belum terlaksana. Teritorialisasi dan yurisdiksi desa
ini sebenarnya bentuk reforma agraria yang paling mudah, sebab keduanya tidak
bermakna redistribusi kepemilikan dan peruntukan lahan. Sudah jamak kita
saksikan, bahwa dalam wilayah yurisdiksi desa terdapat berbagai peruntukan
lahan seperti fasilitas publik, pemukiman warga, sungai, lahan pertanian, dan
sebagainya. Tidak semua tanah itu milik desa, tetapi desa mempunyai kuasa
yurisdiksi, sebagai batas yang tegas untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat.
Kedua,
akses dan distribusi. Pada dasarnya desa mempunyai hak untuk memanfaatkan lahan
negara maupun common pool resources untuk kepentingan masyarakat setempat.
Salah satu butir Pasal 26 UU Desa menegaskan bahwa kepala desa berwenang/berhak
mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa. Kekayaan itu bisa dalam bentuk tanah, gedung
maupun peralatan. Untuk redistribusi lahan/tanah bisa ditempuh dengan dua cara:
dari atas dan dari bawah. Yang dari atas, melalui perjalanan panjang dan rumit,
hari ini pemerintah akan membagi (distribusi) sebagian dari target 12,7 juta
hektar kepada sekitar 6.5 ribu desa. Desa pasti sudah menunggu realisasinya.
Tetapi urusan begini pasti ruwet yang berkuat pada birokrasi, administrasi dan
teknis. Sudah biasa, sebab politisi selalu bekerja dengan platform sehingga mengabaikan
data, teknokrat bekerja dengan pengetahuan dan alat untuk memburu data,
birokrat bekerja dengan aturan sehingga suka menyembunyikan data.
Jalur
dari bawah juga bisa ditempuh melampaui skema redistribusi dari atas yang ruwet
itu. Kepala desa maupun pamong desa umumnya sangat tahu kondisi dan status
tanah, baik tanah yang sudah dikenai hak, tanah sumberdaya milik bersama, tanah
negara yang tidak termanfaatkan, maupun tanah negara yang betul-betul
terlantar. Pemerintah bisa membuat regulasi yang mengatur tatacara pengusulan
dari desa dan penerimaan kepada desa. Kalau sudah bicara regulasi/aturan pasti
berlaku diktum begini: aturan yang simpel tidak tepat, aturan yang ditail/rumit
tidak berguna. Jangan membuat aturan seperti mantra yang simpel, sehingga tidak
tepat, sebab tidak clear dan clean. Jangan pula membuat aturan seperti sampah
yang tidak berguna, sebab aturan yang rumit selalu membuka celah perburuan
rente (pungli).
Ketiga,
konsolidasi lahan dalam desa. Dulu anggota DPR, Totok Daryanto, sangat getol
bicara soal ini. Salah satu butir Pasal 26 UU Desa menegaskan: kepala desa
berwenang membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya
agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran
masyarakat Desa. Klausul ini menyampaikan pesan agar kepala desa bersama warga
desa melakukan aksi kolektif mengonsolidasi lahan secara mandiri untuk
kepentingan ekonomi desa. Daripada lahan yang sudah sempit dan terfragmentasi
itu disewakan atau dijual oleh orang per orang, lebih baik desa hadir melakukan
konsolidasi, agar aset, aktor, akses, dan arena bisa disatukan menjadi kekuatan
kolektif.
Keempat,
proteksi desa dari investasi. UU Desa tidak mengharamkan investasi masuk desa.
Selama ini, ketika investasi akan masuk ke desa, kepala desa berperan dua hal:
menjadi perantara proses penyewaan/pembelian lahan warga; dan mengeluarkan
surat rekomendasi izin yang akan diteruskan ke atas. UU Desa menolak proses
yang elitis dan tertutup ini, sebaliknya melembagakan Musyawarah Desa (MD)
secara inklusif-deliberatif, yang salah satunya untuk membicarakan dan
menyepakati rencana investasi yang masuk ke desa. MD itu menjadi arena free and
prior inform consent atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan,
yakni suatu persetujuan (consent) yang diberikan masyarakat desa setelah ada
penjelasan (informed) terlebih dahulu (prior) dan dilakukan secara bebas, tanpa
tekanan atau paksaan (free) dari pihak manapun. MD bisa menjadi arena untuk
deliberasi dan negosiasi desa dengan investor. Jika MD desa menolak, maka
rencana investasi batal. Jika MD menerima maka ada konsekuensi lanjutan, dan
hal ini menjadi dasar bagi kepala desa mengeluarkan rekomendasi izin. Pendek
kata, MD itu bermakna untuk deliberasi dan negosasi dalam proses investasi,
sekaligus memberikan proteksi – bukan melalui regulasi, melainkan melalui
proses sosial-politik – desa dari keganasan investasi.
sumber : kpd.or.id
sumber : kpd.or.id
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....