Bagaimana
Dana Desa berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja dan menekan angka
kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan? Apa kebijakan yang diperlukan guna
lebih memasifkan percepatan pembanguann perdesaan dengan pada saat sama
memberdayakan potensi Sumber Daya Manusia desa dan Sumber daya material lokal
desa sehingga memungkinan terwujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan saling
hubung dengan pembangunan manusia desa?
Dalam
tiga tahun sejak 2015 Alokasi Dana Desa terus menanjak signifikan. Dari Rp
20,67 trilyun atau sekitar Rp 280,3 juta perdesa pada 2015 hingga menjadi Rp 60
trilyun atau sekitar Rp 800,4 juta perdesa pada 2017. Dengan demikian bisa
dikatakan secara teknis “janji” transfer Dana Desa mencapai 1 Miliar Per Desa
telah diwujudkan.
Tantangannya
kemudian adalah bagaimana Dana Desa yang jumlahnya cukup besar itu bisa
benar-benar membantu mweujudkan terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat desa? Bukan sekedar menguap dan hanya
memfasilitasi memfasilitasi infrastruktur semata tanpa menciptakan akselerasi
ekonomi?
Salah
satu jalan sekaligus tantangan dalam upaya pemberdayaan masyarakat secara
genuine sekaligus pada saat sama
menemukan strategi percepetan ekonomi desa dan menghapus kemiskinan dan
ketimpangan desa adalah dengan mendorong kemampuan alokasi dan peruntukan Dana
Desa yang sekali mendayung bisa menciptakan lapangan kerja bagi warga desa, dan
pada saat bersamaan proyek kebutuhan dasar warga desa melalui pembangunan
infrastruktur bisa berjalan beriring mengejar ketertinggalannya terutama di
desa-desa kawasan pinggiran indonesia. Maka pertanyaan selanjutany adalah
seberapa besar Dana Desa bisa menciptakan lapangan kerja dan seberapa banyak
menyerap tenaga kerja?
Hasilnya
tidak buruk. Data lapangan menunjukkan pada tahun 2015, tenaga kerja yang
terserap sebagai akibat dari kontribusi dana desa berjumlah 1,7 juta jiwa.
Kemudian pada tahun 2016 tenaga kerja yang terserap sebagai akibat dari
kontribusi Dana Desa berjumlah 3,9 juta jiwa. Dan pada tahun 2017, tenaga kerja
yang terserap sebagai akibat dari kontribusi Dana Desa berjumlah 5 juta jiwa.
Dari
data tersebut, dapat dikatakan bahwa kontribusi Dana Desa dalam penyerapan
tenaga kerja pada tahun 2017 telah mengalami peningkatan sampai 3 kali lipat
dari angka penyerapan tenaga kerja.
Swakelola
Pembangunan
Faktor
kemajuan signifikan dari fenomena besarnya penyerapan tenaga kerja lokal yang
bisa diserap oleh program pembangunan desa dan kontribusi Dana Desa dalam
mempercepat akselerasi perekonomian desa, adalah pelaksanaan kegiatan
pembangunan dana desa selama ini dilakukan secara swakelola dan padat karya
dengan menggunakan material lokal.
Dana
desa yang disalurkan ke desa-desa, dimanfaatkan oleh desa dalam membangun
infrastruktur penunjang kegiatan di desa seperti membangun 21.811 unit BUMDesa,
5.220 unit Pasar Desa, 21.357 unit PAUD, dan 6.041 unit POLINDES. Pembangunan
infrastruktur tersebut ternyata turut membawa pengaruh dalam mengurangi angka
pengangguran di desa, karena berpotensi menyerap tenaga kerja di desa.
Diasumsikan bahwa Posyandu dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 64.071 jiwa,
POLINDES dapat menyerap 18.123 jiwa, PAUD dapat menyerap 41.919 jiwa, BUMDes
dapat menyerap 65.919 jiwa, dan Pasar dapat menyerap 15.660 jiwa.
Padat
Karya dan Pengentasan Kemiskinan
Wujud
dari gerakan padat karya melalui dana desa dapat dilihat dengan adanya
penggunaan dana desa untuk upah tenaga kerja di desa. Dalam hal ini pemerintah
memilki target untuk dapat menurunkan tingkat kemiskinan perdesaan sesuai
dengan besaran persentase jumlah penggunaan dana desa tersebut.
Dana
Desa yang digunakan berjumlah 20% dari Rp 60 triliun, atau sekitar Rp12 triliun,
maka rata-rata upah yang diperoleh rumah tangga miskin (RTM) adalah Rp
2.105.585. Dalam perhitungan ini diperkirakan lapangan kerja yang tercipta
berjumlah 3,2 juta untuk RTM, dan 800 ribu untuk Non RTM.
Kemudian
diperkirakan bahwa peran dana desa terhadap biaya penurunan kemiskinan
berjumlah 12%, dan persentase penurunan tingkat kemiskinan perdesaan nasional
berjumlah 2%, sehingga dapat ditargetkan tingkat kemiskinan perdesaan akan
menurun sebanyak 12%, dan target untuk penurunan tingkat kemiskinan total akan
berjumlah 10%.
Sementara
jika dana desa yang digunakan berjumlah 50% dari Rp 60 trilyun, atau sekitar Rp
30 triilyun, maka rata-rata upah yang diperoleh rumah tangga miskin (RTM)
adalah Rp 5.263.961. Dalam perhitungan ini diperkirakan lapangan kerja yang
tercipta berjumlah 8 juta untuk RTM, dan 2 juta untuk Non RTM. Kemudian
diperkirakan bahwa peran dana desa terhadap biaya penurunan kemiskinan
berjumlah 30%, dan persentase penurunan tingkat kemiskinan perdesaan nasional
berjumlah 5%, sehingga dapat ditargetkan tingkat kemiskinan perdesaan akan
menurun sebanyak 9%, dan target untuk penurunan tingkat kemiskinan total akan
berjumlah 8%.
Dari
perhitungan di atas dapat dikatakan bahwa semakin besar prosentase penggunaan
Dana Desa untuk upah tenaga kerja, maka semakin besar pula target prosentase
penurunan tingkat kemiskinan perdesaan. Sehingga pengelolaan pembangunan padat
karya mesti didorong lebih intens karena meruapakan jalan utama penciptaan
lapangan kerja dan mampu menekan angka kemiskinan desa secara signifikan.
Program
Padat Karya Cash sebagai pengganti BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang digagas
pemerintah Jokowi-JK sesungguhnya memberi potensi besar pada tujuan pengurangan
kemiskinan desa. Selamana ini terutama Kementerian Desa PDTT meruapakan kunci
dan aktor utama yang memungkinkan memfasilitasi secara nyata program tersebut
dan memberikan dukungan utama pada proses yang telah berjalan sampai sekarang.
Benturan
Pelaksanaan
Program
Padat Karya Cash merupakan program baru sehingga ia mungkin memiliki kendala
berupa benturan antra ideal-ideal tujuan kesejahteraan berhadapan dengan teknis
pelaksanaan menyangkut peraturan perundangan yang selama ini berlaku. Sehingga
dengan demikian diperlukan penyusunan peraturan terkait hal tersebut atau merevisi
peraturan lama. Sehingga program padat karya cash bisa berjalan tanpa kendala
demi terwujudnya ideal akseleasi pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka
kemiskinan desa dan kemiskinan nasional melalui Dana Desa.
Benturan
teknis peraturan yang dimaksud misalnya, dalam Lampiran Peraturan Kepala LKPP
Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa
(BAB II Pengadaan Barang / Jasa Melalui Swakelola) dijelaskan bahwa “Khusus
untuk pekerjaan konstruksi tidak sederhana, yaitu pekerjaan konstruksi yang
membutuhkan tenaga ahli dan/atau peralatan berat, tidak dapat dilaksanakan
secara swakelola”. Hal ini menimbulkan multi tafsir, sehingga perlu dilakukan
peninjauan ulang terkait kebijakan tersebut.
Sementara
itu dalam Rancangan Surat Edaran Menteri Desa PDTT kepada seluruh Gubernur,
Bupati/Walikota, dan Kepala Desa tentang Pelibatan Tenaga Kerja Masyarakat
Setempat dalam Pelaksanaan pembangunan melalui Dana Desa, terdapat empat poin
yang ditekankan yaitu: (1) pemanfaatan
dana desa dilakukan dengan swakelola, (2) Pemanfaatan pembanguan dengan program
swakelola dilakukan dengan memanfaatkan material lokal dan membeli dari
masyarakat atau toko lokal, (3) harus dipastikan bahwa 30% dana desa digunakan
untuk upah tenaga kerja lokal, dan (4) pekerjaan yang melibatkan masyarakat
dibayarkan secara harian/mingguan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Melihat
potensi percepatan pembangunan dan pada saat sama mendorong upaya akselerasi
pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja desa yang memungkinkan
menolong daya beli masyarakat secara berkelanjutan, Program tersebut di atas
memerlukan respon cepat kebijakan berupa; Pertama, penyusunan Peraturan
Presiden yang memuat bahwa kegiatan pembangunan desa diutamakan menggunakan
tenaga kerja lokal dan material lokal. Kedua, Revisi terhadap Peraturan Kepala
LKPP No. 13 Tahun 2013 tentang pedoman tata cara pengadaan barang/jasa di desa.
Ketiga, Penetapan prioritas penggunaan Dana Desa: a) Minimal 30% Dana Desa
untuk tenaga kerja; b) Tenaga kerja mencakup seluruh rumah tangga miskin (RTM);
c) RTM yang tidak bekerja dibantu pangan dan sandang selama pelaksanaan
pembangunan desa. Keempat, Percepatan Pencairan Dana Desa (Tahap 1: Bulan
Maret; Tahap II: Bulan Juni. Kelima, Penetapan jenis pelaporan kegiatan pembangunan
yang lebih sederhana dan ditetapkan melalui peraturan bupati selambat-lambatnya
Maret setiap tahunnya. Keenam, Penetapan upah kerja kegiatan infrastruktur: a)
Ditetapkan melalui peraturan bupati selambat-lambatnya Maret setiap tahunnya;
b) Upah kerja 80% lebih rendah daripada harga pasar; c) Upah dibayarkan
mingguan atau harian.
Jika
idealita pembangunan dengan skema swakelola dan padat karya melalui pemanfaatan
Dana Desa tersebut bisa ditopang dengan kebutuhan teknis dan non teknis seperti
Peraturan Pemerintah setingkat Presiden dan Menteri, kesiapan sumberdaya
pendamping, dan kematangan perencanaan dari tingkat nasional sampai desa, bisa
dipastikan pembangunan nasional akan terwujud dengan fundamental yang kuat dari
desa dan tujuan memakmurkan rakyat dengan jalan memperluas keadilan sosial
mungkin menemukan jalan yang lebih lapang. (*)
Oleh:
Sabiq M (Biro Humas dan Kerjasama)
Sumber
: kemendes.go.id
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....