Badan
Permusyawaratan Desa, selanjutnya disingkat BPD, bukanlah lembaga baru. Dalam
lima belas tahun terakhir sejak era reformasi digulirkan tugas, fungsi, dan
kedudukan BPD terus berubah-ubah. Perubahan tersebut tak lepas dari perubahan
regulasi yang mengatur urusan desa.
Mengapa
posisi BPD berubah-ubah? Apa dan bagaimana BPD dapat memerankan isu strategis
di desa?
Istilah
BPD diperkenalkan oleh UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah sebagai
lembaga legislatif desa. Peran BPD sebagai lembaga legislatif yang kuat di tingkat
desa selanjutnya di tekan dan dilunakan oleh UU No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. BPD bergeser menjadi unsur dari pemerintahan desa. Sebagai
unsur pemerintahan desa, BPD berwenang dan ikut mengatur dan mengurus desa.
Posisi BPD Dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Pasca
bergulirnya Era reformasi yang dimulai dari tahun 1998 sampai dengan
sekarang, telah membawa angin segar bagi pelaksanaan otonomi
daerah, ketika desentralisasi dan demokrasi lokal mengalami
kebangkitan, menyusul lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini keberadaan Badan Perwakilan Desa
(BPD) menjadi aktor baru pendorong demokrasi, masyarakat berharap bahwa
kehadiran BPD menjadi dorongan baru bagi demokrasi desa, yakni sebagai
artikulator aspirasi dan partisipasi masyarakat, pembuat kebijakan secara
partisipasi masyarakat dan alat kontrol yang efektif terhadap pemerintah desa. Pengaturan
tentang desa dalam undang-undang ini ada dalam Bab XI Pasal 93-111 (ada 18
pasal).
Dalam
undang-undang ini Lembaga Musyawarah Desa (LMD) diganti menjadi Badan
Perwakilan Desa. Pengaturan tentang BPD ini ada dalam pasal 104 dan 105. Pasal
104 berbunyi:
“Badan Perwakilan Desa
atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat
peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa”.
Dari
pasal tersebut terlihat bahwasannya BPD memiliki 4 (empat) fungsi, yakni: Pertama, mengayomi adat istiadat; Kedua, membuat peraturan desa; Ketiga, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat; Keempat, melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Akan tetapi, dalam
prakteknya fungsi ini belum berjalan semuanya.
Pada
pasal 105 mengatur tentang keanggotaan BPD. Anggota BPD dipilih dari dan oleh
penduduk desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan BPD dipilih dan oleh anggota.
Pengaturan ini tentu berbeda dengan pengaturan pada Undang-undang No. 5 tahun
1979 Tentang Desa. Keanggotaan BPD tidak lagi diisi oleh perangkat desa, melainkan
diisi oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan. BPD menjadi sebuah badan
yang independen yang berarti BPD bebas dari campur tangan perangkat desa.
Dari
kedua pasal tersebut mengindikasikan adanya struktur dan fungsi baru
kelembagaan di desa. Kepala desa tidak lagi memiliki kekuasaan yang absolut.
Kepala Desa menjalankan fungsi administrasi, anggaran, dan pembuatan keputusan
desa bersama-sama dan dengan pengawasan BPD. Keberadaan BPD secara normatif
menandai terbentuknya lembaga pengontrol kepala desa dengan menjalankan fungsi check and balances dalam pemerintahan
desa.
BPD Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 ini kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diatur pada pasal
209 dan pasal 210. Pasal 209 berbunyi:
“Badan Permusyawaratan
Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat”.
Dalam
undang-undang ini BPD memiliki 2 fungsi, yakni pertama, menetapkan peraturan desa; dan kedua, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Jika
dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya ada pengurangan fungsi dari BPD.
Fungsi yang hilang tersebut adalah mengayomi adat istiadat dan melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pada
pasal 210 mengatur tentang keanggotaan BPD. Anggota BPD adalah wakil dari
penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.
Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD. Dalam undang-undang ini masa
jabatan anggota BPD sudah dibatasi, yakni selama 6 tahun dan dapat dipilih lagi
untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Penjabaran
lebih lanjut tentang pengaturan BPD ini ada dalam Peraturan pemerintah No. 72
Tahun 2005 tentang Desa. Pengaturan BPD dalam PP ini terdapat pada bagian
ketiga dari pasal 29 hingga pasal 42 (ada 13 pasal). Hal-hal yang diatur
tentang BPD adalah tentang kedudukan, keanggotaan, struktur, fungsi, wewenang,
hak, kewajiban, kegiatan dan larangan bagi BPD. Peraturan pemerintah ini telah
mengatur BPD secara lebih rinci dibandingkan dengan pengaturan pada
undang-undang sebelumnya.
BPD
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa yang jumlah
anggotanya ditetapkan dengan jumlah ganjil, yakni 5 (lima) hingga 11 (sebelas)
orang. BPD memiliki fungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Wewenang terpenting yang
diberikan kepada BPD adalah membahas rancangan peraturan desa bersama kepala
desa. Dengan adanya wewenang ini BPD bersama kepala desa dapat bersama-sama
dalam membuat peraturan desa. Setelah peraturan dibuat dan disahkan, BPD
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa tersebut dan BPD juga
melakukan pengawasan terhadap peraturan kepala desa. Untuk menunjang wewenang
ini, BPD diberikan hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah desa.
Selain
wewenang tersebut, BPD dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala
desa. Jadi, kepala desa dapat diganti atas usulan dari BPD. Jika kedudukan
kepala desa telah habis masa jabatannya BPD akan membentuk panitia pemilihan
kepala desa. Wewenang lain dari BPD adalah BPD menggali, menampung, menghimpun,
merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Aspirasi yang terhimpun dari
masyarakat kemudian disampaikan kepada pemerintah desa. Dari wewenang BPD
tersebut diatas, terlihat bahwa BPD memiliki hak legislatif dan hak pengawasan/controlling serta hak budgeting. Tentang hal ini diatur dalam
pasal 73 ayat (3) yang berbunyi: “kepala desa bersama BPD menetapkan APB Desa
setiap tahun dengan Peraturan Desa”.
BPD Dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menggeser posisi Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa menjadi lembaga desa.
Sebagai lembaga desa, fungsi dan kedudukan BPD semakin jelas, yaitu lembaga
legislatif desa.
Kedudukan
Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 telah
bergeser, tidak sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Hal tersebut
ditegaskan pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 bahwa “Pemerintahan
Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa”. Dengan demikian Badan
Permusyawaratan Desa berada diluar struktur pemerintahan desa. Badan
Permusyawaratan Desa menjadi lembaga yang mandiri, namun mempunyai fungsi
pemerintahan.
Pada
pasal 55, UU Desa menyebutkan sejumlah fungsi BPD yang berkaitan dengan kepala
desa, yaitu (1) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama
Kepala Desa; (2) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; dan (3)
melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Lebih
dari itu, Pasal 61 huruf a memberikan hak pada BPD untuk mengawasi
penyelenggaraan pemerintahan desa, yaitu:
- Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;
- Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; serta
- Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
BPD
juga bertugas untuk menyelenggarakan musyawarah desa (Musdes) dengan peserta
terdiri kepala desa, perangkat desa kelompok, dan tokoh masyarakat. Jumlah
pesertanya tergantung situasi kondisi setiap desa. Musyawarah desa berfungsi sebagai
ajang kebersamaan dan membicarakan segala kebijakan tentang desa.
Jika
dilihat dari kedudukannya, pemerintah desa dan BPD memiliki kedudukan yang
sama, yakni sama-sama merupakan kelembagaan desa. UU Desa tidak membagi atau
memisahkan kedudukan keduanya pada suatu hierarki. Artinya, keduanya memiliki
kedudukan yang sama, namun dengan fungsi yang berbeda.
BPD
harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan kepala desa sehingga BPD tidak
dapat menjatuhkan kepala desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat desa.
Untuk
mempermudah Anda memahami hubungan antara kepala desa dan BPD, lihat daftar
tugas dan fungsi berikut ini:
- Kepala Desa dan BPD membahas dan menyepakati bersama peraturan desa (Pasal 1 angka 7 UU Desa);
- Kepala Desa Dan BPD memprakarsai perubahan status desa menjadi kelurahan melalui musyawarah desa (Pasal 11 ayat (1) );
- Kepala Desa memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada BPD (Pasal 27 huruf c UU Desa);
- BPD memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir (Pasal 32 ayat (1) UU Desa);
- Kepala Desa mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan memusyawarahkannya bersama BPD (Pasal 73 ayat 2);
- Kepala Desa dan BPD membahas bersama pengelolaan kekayaan milik desa (Pasal 77 ayat (3) UU Desa).
Penjabaran
lebih lanjut tentang pengaturan BPD ini selanjutnya diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang BPD.
Sayang,
program pengembangan kapasitas BPD sangat langka, padahal Program ini
Pengembangan Kapasitas BPD sebenarnya menjadi kewajiban Pemerintah dan
Pemerintah Daerah. Dampaknya, persoalan hubungan antara BPD dan Pemerintah Desa
acapkali terjadi akibat kesenjangan sumberdaya manusia dan pemahaman atas
pengetahuan regulasi. Bahkan, sebagian besar anggota BPD belum mampu memahami
tugas dan fungsi pokoknya.
Pada
fase rekrutmen, minat dan antusiasme masyarakat untuk menjadi anggota BPD
sangat kurang. Sayang, hingga hari ini para anggota BPD berasal dari orang
‘seadanya’, jarang ada yang minat untuk mendaftarkan diri sebagai BPD. Salah
satu penyebabnya adalah urusan penggajian/tunjangan yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan Kepala Desa dan Perangkat Desa. Meski kedudukan BPD setara
dengan Pemerintah Desa tetapi BPD tidak mendapatkan gaji/tunjangan layaknya
kepala desa dan perangkatnya.
Diolah dari berbagai sumber
Oleh
: Asep Jazuli
Penulis adalah Pendamping Lokal Desa di Kabupaten Sumedang***
Penulis adalah Pendamping Lokal Desa di Kabupaten Sumedang***
Bahan
Rujukan :
A. Regulasi
1.
Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
2.
Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
3.
Peraturan
Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa
4.
Undang-Undang
No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
5.
Peraturan
Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
No. 43 Tahun 2014 Tentang Desa.
6.
Permendagri
Nomor 110 Tahun 2016 Tentang BPD
B.
Artikel
dan Internet
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....