“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam,
siang, matahari dan bulan. Janganlah kalian sujud (menyembah) matahari maupun
bulan, tapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika memang kalian
beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Al Fushshilat : 37)
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat
(tanda) di antara ayat-ayat Allah. Tidaklah terjadi gerhana matahari dan bulan
karena kematian seseorang atau karena hidup (lahirnya) seseorang. Apabila
kalian melihat (gerhana) matahari dan bulan, maka berdoalah kepada Allah dan
shalatlah hingga tersingkap kembali.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dua
keterangan di atas adalah firman Allah SWT. dan sabda Rasulullah SAW. yang
berkaitan dengan peristiwa gerhana. Gerhana merupakan fenomena alam (peristiwa
alamiah) yang terjadi karena kekuasaan
dan kemahabesaran Allah SWT. Sebagai takdirNya, sama sekali bukan karena
kematian dan kelahiran seseorang atau mitos-mitos lainnya. Di samping peristiwa
alamiah, ia juga sekaligus peristiwa
ilmiah karena menarik untuk diobservasi, dicermati, dan diteliti secara
saintifik oleh kita.
Dalam
waktu dekat, merujuk pada Almanak Persatuan Islam 1439 H hasil penghitungan
Dewan Hisab dan Rukyat Persis (04/07/2018), Sabtu dini hari nanti, 28 Juli 2018
atau bertepatan dengan 14 Dzulqo’dah 1439 H, seluruh wilayah Indonesia akan
mengalami gerhana bulan total (khusuful qomar kulli).
Diperkirakan
awal kontak gerhana dimulai pukul 01:24:27 WIB, kemudian mulai total pada pukul
02:30:15 WIB, sedangkan puncak gerhana pada pukul 03:21:43 WIB. Adapun akhir
total pada pukul 04:13:12 WIB, dan akhir
gerhana pada pukul 05:19:00 WIB.
Menurut
catatan sejarah bahwa masyarakat Arab sebelum Islam meyakini gerhana bulan atau
matahari sebagai pertanda buruk yang akan terjadi menimpa mereka. Ia dianggap
masyarakat sebagai sesuatu yang menakutkan,
sumber bencana dan malapetaka bagi mereka. Sebuah pandangan yang jauh dari
rasionalitas.
Pun
tak jauh berbeda dengan mitos di Indonesia. Sebagian masyarakat Jawa,
khususnya, menganggap peristiwa gerhana bulan tersebut terjadi karena seekor
raksasa jahat yang bernama Batara Kala memakan bulan. Agar Batara Kala takut,
kemudian bulannya ia muntahkan kembali, tak jadi dimakan, masyarakatpun memukul
kentongan secara beramai-ramai.
Setelah
Islam hadir di tengah-tengah mereka, pandangan, keyakinan serta anggapan
irasional (primitif) di atas diluruskan. Islam mengajarkan bahwa ia merupakan
kemahabesaran Allah SWT yang terkandung di dalamnya dimensi spiritual, dimensi
sosial juga dimensi ilmu pengetahuan (saintifik).
Di
dalam peristiwa gerhana pula ada sebuah misi kenabian yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW. Beliau menegaskan bahwa gerhana baik bulan atau matahari terjadi
bukan karena wafatnya putra beliau, Ibrahim, juga bukan sebaliknya, karena
lahirnya seseorang.
Gerhana
bulan, sekali lagi, jauh dari sangkaan, anggapan serta mitos yang tak rasional.
Ia terjadi disebabkan karena posisi bumi berada di antara matahari dan bulan
pada satu garis lurus yang sama. Hal ini menyebabkan sinar matahari tak dapat
mencapai bulan karena terhalang oleh bumi.
Dalam
catatan sejarah yang lain, gerhana bulan dan matahari terjadi beberapa kali.
Gerhana bulan terjadi pada zaman Nabi sebanyak lima kali, dan gerhana matahari
sebanyak tiga kali. Kejadian inilah, yang secara tidak langsung, Nabi sedang
menolak mitos yang menyelubungi diri mereka.
Nabi
mensyariatkan pelaksanaan shalat gerhana sebagai aktivitas spiritual atas
kejadian luar biasa tersebut. Simpulnya, gerhana merupakan media yang bisa
mendekatkan diri kepada Sang Khaliq dengan melaksanakan shalat khusuf (shalat
gerhana) tersebut.
Selain
melaksanakan shalat khusuf, yaitu shalat sunnat dua rakaat dengan empat kali
membaca Al-Fatihah dan bacaan surat-surat pendek lainnya juga dengan empat kali
rukuk dan sujud, yang dilanjutkan dengan mendengarkan khutbah setelahnya, Nabi
juga menganjurkan umatnya untuk mengumandangkan takbir, tahmid, tasbih, dan
tahlil (berdzikir), berdoa, beristigfar, bersedekah dengan harta terbaik yang
dimiliki, serta memerdekakan hamba sahaya (budak).
Bersedekah
dan memerdekakan hamba sahaya atau budak menunjukkan bahwa peristiwa gerhana
juga mengandung dimensi sosial. Berbagi serta peduli terhadap orang lain yang
kekurangan adalah bagian dari nilai sosial dan kemanusiaan. Ia juga tak kalah
pentingnya dari nilai spiritual.
Selain
dua nilai, spiritual dan sosial dari peristiwa gerhana di atas, ada dimensi
pengetahuan juga di dalamnya. Peristiwa gerhana menuntut kita untuk memahami
fenomena alami secara empiris. Penelitian, riset, dan observasi yang telah
dilakukan para ilmuwan terhadap fenomena ini akhirnya akan memantapkan diri kita
untuk lebih dekat lagi mengenal Allah SWT, sebagai Pengatur dan Penguasa Alam
semesta ini.
Mengetahui
peristiwa gerhana secara ilmiah, secara tidak langsung, akan membebaskan
masyarakat dari mitos-mitos yang mengiringinya. Ia tak lagi dikepung oleh pemikiran-pemikiran
mistis yang ahistoris dan irasional. Ia
kini masuk ke ruang yang lebih rasional, ilmiah dan akademis. Masyarakat
akhirnya memiliki pemikiran yang tajam, kritis dan moderat.
gambar : geotimes.co.id
Dua
pesan suci di atas, firman Allah serta sabda Nabi, soal persitiwa gerhana
memacu kita untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara serius di bidang
astronomi, sebuah disiplin ilmu yang kini jarang dipelajari oleh pelajar muslim
pascakejayaan Islam abad ke-8, yang setelah itu jalan di tempat seiring dengan
kemunduran Islam dalam berbagai aspek.
Ketiga
dimensi yang lahir dari peristiwa gerhana tersebut, kini memang sudah banyak
yang mengamalkannya. Pertama, dimensi spiritual, kini banyak masyarakat yang antusias
melaksanakan shalat gerhana, berdoa dan berdzikir, meski jumlah jamaahnya masih
belum terlihat masif seperti masyarakat yang melaksanakan shalat ‘id. Dua
dimensi selanjutnya, agak sedikit kurang mendapatkan perhatian.
Kedua,
untuk dimensi sosial, masyarakat masih belum terlihat antusias untuk berinfak
dan sedekah bagi para fakir dan miskin. Hal ini dimungkinkan alasannya karena
masyarakat belum terbiasa atau luput membawa uang dan sejenisnya ketika hendak
berangkat menghadiri pelaksanaan shalat gerhana. Orientasi mayoritas tertumpu
pada pelaksanaan shalat gerhananya. Sedangkan infak atau sedekahnya terlupakan.
Padahal imbauan Nabi dalam konteks ini, selain shalat gerhana juga
diperintahkan untuk bersedekah.
Ketiga,
dimensi pengetahuan (saintifik). Untuk yang satu ini, ketertarikan serta
antusiasme masyarakat terhadap peristiwa gerhana sebagai modal untuk melakukan
observasi, pencermatan, penelitian, riset dan sejenisnya sangat minim. Padahal
Nabi telah mengisyaratkan bahwa muslim yang hebat adalah muslim yang kuat dan
berpengetahuan luas (cerdas).
Dalam
konteks ini, alam semesta merupakan laboratorium bagi kaum muslimin untuk
melakukan kerja-kerja ilmiah yang sangat bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan peradaban manusia.
Oleh : IIP RIFAI
Penikmat Kopi |
Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana
UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014
Sumber : https://geotimes.co.id/opini/gerhana-bulan-membawa-sejumlah-pesan/
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....