Geotimes.co.id - Desa selama ini selalu dikenal
dan dikenang karena kelimpahan sumber daya ekonomi. Sebagian besar kekayaan itu
berwujud dalam sumber daya alam: sawah, ladang, kebun, laut, sungai,
pegunungan, dan lain-lain. Pendeknya, desa surplus sumber daya ekonomi.
Foto : geotimes.co.id
Kita
menjadi saksi, kekayaan sumber daya ekonomi itu masih menjadi penanda desa
hingga hari ini. Tiap kali melakukan perjalanan ke penjuru Nusantara, rasanya
kita tak berhenti kagum dengan kelimpahan dan keelokan alam tersebut. Sawah
yang menguning, kebun yang menghijau, laut yang membiru, dan seterusnya. Namun,
kita juga menatap dengan pedih, sumber daya ekonomi itu dibiarkan tak terolah
dengan layak. Dibiarkan menjadi lahan atau ladang gersang yang berserak. Kita
juga tidak dapat bernapas lega terlebih dulu bila melihat perkebunan yang megah
dan menjulang dengan produksi yang melimpah, atau sawah-sawah nan permai yang
menjanjikan panen raya. Sebagian produksi itu malah diekspor dengan harga yang
melegakan, khususnya ketika pasar internasional sedang bersinar terang. Sungguh
pun begitu, di balik rasa syukur atas seluruh anugerah yang diberikan oleh
Allah tersebut, terselip gurat sedih karena sebagian (besar) kekayaan alam itu
bukan lagi milik desa atau warga desa.
Desa-desa
perkebunan, misalnya, telah lama bukan lagi perayaan bagi warga desa, sebab
sebagian besar sudah dikuasai oleh perusahaan besar yang berkantor di Jakarta
atau korporasi kakap mancanegara. Perkebunan menjulang, tetapi warga desa
defisit penguasaan sehingga kesejahteraannya menghilang. Tentu saja kita bersorak ketika
Presiden Jokowi tak lagi mengeluarkan izin usaha bagi perkebunan besar. Izin
baru seluruhnya diperuntukkan bagi rakyat yang selama ini tak memiliki akses
terhadap penguasaan lahan dalam bentuk program Reforma Agraria dan Perhutanan
Sosial (RAPS).
Dengan
program ini dua perkara sekaligus dapat diselesaikan. Pertama, ketimpangan
penguasaan aset produktif dapat ditekan. Pada masa lalu jalur pemerataan tidak
pernah menyentuh pada level hulu, semuanya berada di hilir. RAPS bekerja untuk
memotong kepincangan ekonomi sejak dari hulu. Kedua, rakyat berdaulat dan
memiliki martabat atas kehidupannya karena kepemilikan lahan tersebut. Kata
Bung Karno, tak ada harga diri petani tanpa kepemilikan lahan. Kedaulatan ini
memulihkan dan memuliakan kembali harga diri para petani tersebut.
Di
tengah situasi semacam itu, kita bergembira pula ketika sebuah desa sadar penuh
atas kegentingan penguasaan dan kepemilikan lahan bagi desa dan warga desa.
Desa Pujon Kidul yang jauh dari pusat kota (Kabupaten Malang, Jatim) tiba-tiba
menjadi amat terkenal karena pengembangan wisatanya.
Pokok
soal paling utama bukan wisata itu, tapi Kepala Desa (Kades) Pujon Kidul yang
cerdas melindungi kekayaan dan kelestarian lingkungan dengan sangat cakap. Ia
mendorong agar kekayaan alam desa tetap dalam genggaman warga desa. Semua
ikhtiar dimunculkan untuk mengoptimalisasi potensi tersebut sehingga bisa
mengubah kesejahteraan warga. Rakyat di desa ditancapkan kesadarannya untuk
menjaga kedaulatan yang telah berada dalam tapak tangan.
Saat
ini, sebagian upaya itu telah berbuah ranum. Salah satu yang paling populer
adalah pengembangan desa wisata. Mereka melakukan langkah yang sebenarnya
sederhana: memanfaatkan pemandangan desa yang indah dan sejuk dengan membuat
kafé sawah. Ditambah dengan penataan taman yang bagus untuk diambil gambarnya,
dengan cepat kisah dan panorama desa itu memenuhi media sosial.
Bila
kita ke sana hari ini, desa Pujon Kidul telah ramai oleh wisatawan (sekitar 500
tiap hari dan melebihi 2.500 orang di akhir pekan). Ketika saya berkunjung ke
sana menjelang senja, warga berpartisipasi dalam semarak ekonomi (termasuk
berjualan) dan potensi lokal turut berkembang (antara lain penjualan bunga dan
tanaman lain). Ekonomi bergeliat kencang. Pada akhir 2016 saja (ketika wisata
baru 10 bulan berjalan) keuntungan Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) sudah
mencapai Rp 1,5 miliar!
Meskipun
bersahaja, sesungguhnya yang dikerjakan oleh Desa Pujon Kidul itu merupakan
pendekatan baru dalam sektor pertanian. Pertama, aktivitas dilakukan secara
terintegrasi, bukan sekadar berproduksi tunggal (misalnya menanam padi dan
dijual), tetapi direlasikan dengan aktivitas lainnya, seperti pengolahan susu,
petik sayur, pembuatan biogas, dan banyak lainnya. Kedua, inovasi menjadi bahasa baru
pembangunan pertanian. Mereka paham potensi desa dan tren wisata. Pemilihan
kafé yang dikemas secara otentik tanpa menghilangkan kultur desa adalah pasar
yang menjadi buruan wisatawan. Inovasi semacam ini sederhana, tapi menancap
sedalam telaga.
Ketiga,
menguasai rantai pasok dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Seluruh
proses itu ditahan di desa hingga tiap nilai tambah tidak ke luar desa. Warga
menikmati kesejahteraan yang makin menganga.
Jadi,
sungguh melegakan sekali melihat kiprah desa tersebut. Dengan Dana Desa yang
kian besar mereka terus mengembangkan kepak sayap ekonomi. Namun, Kades
disiplin tak memperluas inisiasi pengembangan bila harus memangkas luas lahan
sawah. Baginya, kekayaan alam tak boleh semata diurus dengan rangsangan
material yang melampaui insentif moral. Lingkungan menjadi penanda batasnya.
Jika ekologi dianggap akan
rusak bila tapak ekonomi dikerjakan, batas itu mesti segera ditegakkan. Inilah
kearifan desa yang membuatnya istimewa. Laba ekonomi tak membuat silau sehingga
melenyapkan kekayaan lingkungan dan budaya.
Teladan
ini membuktikan bahwa desa bisa menjadi lumbung ekonomi bagi warga.
Oleh
: Ahmad Erani Yustika
(
Staf Khusus Presiden RI )
Sumber
: https://geotimes.co.id/kolom/lumbung-ekonomi-desa/
Tulisan
ini disalin untuk kepentingan penyediaan informasi dan pengetahuan, diakses pada tanggal 05/08/2018.
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....