Oleh: Abdulloh Hamid M.Pd.
Syawwal,
selain dikenal sebagai bulan silaturahmi, dikenal pula sebagai bulan awal masuk
pesantren bagi para santri di pondok pesantren salafiyah (mondok).
Tradisi mondok sendiri, mengakar di
kalangan keluarga yang memiliki riwayat apakah orang tua atau saudaranya, yang
dulunya juga mondok (sel lama).
Bagi keluarga santri dengan tradisi
mondok yang sangat kental ini, tujuan memasukkan anak ke pondok pesantren,
paling tidak ada dua hal utama. Pertama, tafaqquh
fi al-din. Kedua, tabarrukan (berharap
berkah) para kiai.
Seiring perkembangan zaman, di era
teknologi informasi ini, ada pergeseran latar belakang santri mondok berikut
tujuan yang melatarinya. Kini sudah banyak masyarakat ekonomi kelas menengah
(ekonomi) dan masyarakat perkotaan (urban), yang
juga tertarik memasukkan anaknya di pesantren.
Apa motif atau niatannya? Jika
dianalisa secara mendalam, ketertarikan masyarakat ekonomi menengah dan
masyarakat urban memasukkan anaknya di pesantren, antara lain dengan tujuan
terhindar dari pergaulan bebas dan memiliki karakter yang baik.
Trust (kepercayaan) masyarakat kepada pesantren ini
muncul, lantaran lembaga pendidikan tradisional yang telah memberikan sumbangsih
tak terperikan bagi bangsa, ini diyakini mempunyai daya imun yang teruji dari pergaulan
bebas yang melewati batas.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
realitas santri era milenial kini,
tidak terbatas dari sel lama saja, melainkan ada sel-sel baru, yakni dari
keluarga yang tidak memiliki tradisi mondok, sehingga ketika mau memasukkan
anaknya di pondok, bisa jadi akan menanyakan perihal apakah di pondok tidurnya
pakai memakaia alas (kasur), ada AC, bagaimana kamar tidurnya, kualitas
makanan, apakah ada fasilitas internet, dan pertanyaan-pertanyaan lain.
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan
semacam itulah, sejak dikampanyekan gerakan nasional Ayo Mondok oleh Pengurus
Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (PP RMI) Nahdlatul Ulama (NU) pada 1 Juni 2015
M bertepatan dengan 15 Sya’ban 1436 H, tim media dan informasi PP RMI NU
mencatat ada banyak efek positif. Yaitu adanya peningkatan sel baru di berbagai
pondok pesantren, seperti di pondok pesantren Lirboyo dan pondok Termas.
Berpijak pada prinsip al–muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih, wa al–akhdzu
bi al–jadid al–ashlah, gerakan nasional Ayo Mondok
menerjemahkannya sebagai tetap memelihara sel lama dan juga melayani kehadiran
sel-sel baru di pesantren. Untuk itu, inovasi bagi pesantren di era milenial,
adalah sebuah keniscayaan (keharusan).
Mengubah
Paradigma
Sebagian masyarakat masih memiliki
paradigma tidak memondokkan anaknya dengan alasan kasihan atau dengan banyak
pertimbangan; bagaimana makannya, tidurnya, bagaimana anak mencuci pakaian dan
lain sebagainya.
Tak pelak, sekolah SD, SMP dan SMA
menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat, ketimbang memasukkan anak di madrasah
(MI, MTs dan MA). ini berlanjut, selepas SMA, belakar di Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) dinilai lebih menjanjikan dan berharap anaknya kelak menjadi
Pegawai Negeri Sipil (PNS), atau bekerja di institusi bonafid dengan gaji
besar.
Pandangan masyarakat inilah, yang
mesti dirubah. Bahwa Anak adalah amanah dunia-akhirat, sehingga harus dijaga,
dirawat, dan dipastikan pendidikannya sebaik mungkin, agar menjadi anak yang
sholeh atau sholehah. Anak tidak sekadar membutuhkan asupan duniawi saja, juga asupan ukhrawi.
Rasulullah Muhammad SAW. dalam sebuah
hadis bersabda: “ … Apabila salah
seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya, kecuali
tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfa’at dan anak sholeh yang
selalu mendoakannya” (HR
Muslim 3.084).
Menurut Nurcholish Madjid (2002 : 5),
pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Oleh
Zamakhsyari Dhofier, pesantren diklasifikasi dalam dua kategori, yaitu pondok
pesantren salafiyyah dan khalafiyyah.
Pengklasifikasian ini merujuk pada
prespektif keterbukaan terhadap perubahan yang terjadi. Pondok salafiyyah tetap mengajarkan
kitab-kitab Islam klasik dengan sistem sorogan dan bandongan dalam pengkajiannya.
Sedang pesantren khalafiyyah, telah
memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkannya.
Di era sekarang, kendati orang tua
mendapatkan banyak model pesantren berikut beragam jurusan bagi anaknya, namun
ada nilai-nilai karakter pesantren yang penting sebagai garis penegas
sebagaimana dikemukakan KH. Sahal Mahfudz (2005).
Nilai-nilai karakter itu adalah teguh
dalam hal aqidah dasar dan syari’ah, toleran dalam hal syari’ah (tuntunan
sosial), memiliki dan dapat menerima sudut pandang yang beragam terhadap
sesuatu permasalahan sosial, serta menjaga dan mengedepankan moralitas sebagai
panduan sikap dan perilaku keseharian.
Dan yang tak kalah penting dari
keberadaan pesantren, yaitu bahwa santri mempunyai keunggulan di bidang
keilmuan yang otoritatif, melalui sanad (mata rantai) keilmuan yang jelas dan
tersambung hingga Rasulullah Muhammad SAW. Wallahu
a’lam bi al-shawab. (aulawi)
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....