“Remember, aid cannot achieve the end
of poverty. Only homegrown development base on the dynamism of individuals and
firms in free markets can do that”. Kutipan dari buku The White
Man’s Burden (2006) karya William Easterly cukup menarik menjadi alarm
tentang sebuah policy bantuan.
Faktanya, karena kebijakan bantuan
menjadi salah satu kebijakan pembangunan yang masih terus dilaksanakan hingga
kini. Meski demikian, evolusi atas gagasan dan praktek pembangunan telah
mengalami perubahan ataupun penyesuaian dengan segala aturannya. Di sini
penulis membaca glontoran dana desa, di mana sebagai amanat UU Desa
merupakan dana “bantuan” yang telah menjadi hak desa.
Bantuan Pembangunan
Sekedar berkelana dalam lintasan sejarah,
bantuan pembangunan internasional di mulai dari paket bantuan ekonomi dalam
skema Marshall Plan (1947-1951). Paket bantuan ini berasal dari pemerintah
Amerika Serikat dan ditujukan untuk membantu negara-negara di Eropa yang
porak-poranda setelah perang dunia kedua.
Sebagai respon proposal Marshall Plan,
maka negara-negara Eropa (16 negara) menyelenggarakan Conference of
Sixteen untuk merumuskan kelembagaan bersama dalam melakukan European
Recovery Programme dan pengelolaan bantuan pembangunan.
Maka pada 16 April 1948 berdirilah Organization for European Economic Co-Operation/OEEC.
Dikarenakan makin dinamisnya perkembangan global, maka OEEC berkembang menjadi Organization for Economic Cooperation and
Development/OECD (September 1961 – sekarang). OECD didirikan oleh
OEEC dan Amerika Serikat serta Kanada.
Dengan demikian, OECD menjadi
organisasi global yang anggotanya makin bertambah dan menjadi salah satu aktor
penting dalam pembangunan internasional. Namun kenyataan pahit rupanya yang
terhidang sejak tahun 1968, tidak ada satupun negara yang menerima bantuan dari
Amerika ini tumbuh dari negara miskin menjadi negara yang lebih berkembang.
Bahkan, negara-negara yang menerima bantuan ini justru menjadi lebih bergantung
pada bantuan dari pada sebelumnya (Woods, 1989 dalam Acemoglu dan Robinson,
2014 ).
Lebih jauh, menurut Doug Bandow dari
Cato Institute, menyebutkan bahwa sekitar 70 negara penerima bantuan luar
negeri, saat ini menjadi lebih miskin dibandingkan pada tahun 1980an. Beberapa
penyebabnya adalah kekacauan dalam negara akibat perang ataupun korupsi yang
merjalela dalam pemerintahan yang menyebabkan negara tidak efektif mengelola
bantuan.
Beberapa negara yang Bandow sebutkan
kebanyakan berasal dari negara-negara Sub Saharan Afrika. Sebuah gambaran bahwa
bantuan tak jarang “jauh panggang dari api” tidak berhasil mensejahterakan
penerima bantuannya. Tentu penyebabnya tidak tunggal, namun Tamsil uzur bahwa
pengalaman adalah guru terbaik, dapatlah menjadi pigura pada kebijakan bantuan
di Indonesia. Ikrar pemerintah terhadap guyuran Dana Desa semakin nyata
dibuktikan, hal ini tampak dari kran dana yang dibuka semakin lebar.
Ilustrasi Gambar : lustrasi dana desa (Foto : Trubus.id)
Jika dilacak dari tahun ke tahun Dana
Desa memang terus meroket. Pada tahun 2015, Dana Desa dianggarkan sebesar
Rp20,7 triliun, dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp280
juta.
Pada tahun 2016, Dana Desa meningkat
menjadi Rp46,98 triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp628 juta dan di
tahun 2017 kembali meningkat menjadi Rp60 Triliun dengan rata-rata setiap desa
sebesar Rp800 juta. Tahun ini nominalnya masih sama dengan tahun kemarin, namun
di tahun depan akan ada penambahan Rp25 Triliun.
Dan hasil dari kebijakan pro-desa
tersebut terhampar perubahan besar dari rona desa. Di mana 121.000 Km jalan
desa telah dibikin, membangun 412 ribu meter jembatan, 82.356 unit MCK, dan
32.711 unit pengolahan air bersih yang dibangun oleh masyarakat desa.
Selain itu, dana desa yang disalurkan
pada 2017 juga telah mendirikan 21.357 sekolah Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), 13.973 posyandu, dan 6.041 polindes.Peran pada sektor pertanian pun tak
kalah gemerlap, sebanyak 11.626 sumur dibangun, 1.058 tambatan perahu, 5.220
pasar desa, 628 lumbung, serta 49.558 drainase saluran irigasi tersier
(Kemendes PDTT,2017).
Bahkan kilau desa juga tampak selain
infrastruktur, yaitu juga telah menumbuhkan BUMDes. Berdasarkan data yang
dimiliki Kementerian Desa sampai akhir tahun kemarin ada 21.811 BUMdes yang
semakin tumbuh. Beberapa diantara mereka, bahkan memiliki omset antara Rp 300
juta – Rp 8,7 miliar.
Jadi, jika dilihat dari hasil kerja
pemerintah, rasanya sulit tidak memberi aplaus. Namun, data tak pernah tunggal
untuk menjelaskan suatu realitas. Angka-angka pencapaian dari Dana Desa
tersebut meski terus membiak dari tahun sebelumnya, di mana kenyataannya baru
memasuki tahun ketiga dari pelaksanaannya.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana di tahun-tahun mendatang,
revolusi sebuah wajah desa sebuah keniscayaan. Pemerintah rupanya benar-benar
menjadikan pembangunan desa sebagai agenda utama. Tentu pemerintah mempunyai
argumen kuat mengenai derasnya glontoran Dana Desa tersebut, namun di benak
penulis merayap ada kekwatiran; Dana Desa akan menjadi candu bagi desa.
Prespektif dana yang semakin besar semakin menjauhkan dari kemandirian.
Muncul ketergantungan desa kepada
“dana bantuan” dan hal ini lambat laun akan bermuara pada melemahnya kemampuan
desa mendayagunakan sumberdaya lokal. Ketidakberdayaan desa untuk mengelola
sumberdayanya sendiri ini juga dipengaruhi oleh adanya ketidakmampuan desa
dalam memetakan aset-aset yang dimilikinya.
Tanpa adanya kemampuan untuk
merumuskan pendayagunaan sumberdaya desa termasuk dana desa yang diperoleh dari
negara sebagai modal pembangunan ekonomi, maka sumberdaya desa menjadi tidak
produktif bahkan cenderung dana desa yang berasal dari negara hanya menopang
daya beli Desa.
Tentu kita berharap hal sebaliknya,
namun kembali “hutang” kita terhadap desa selama ini. Di mana gemerlap kota
menenggelamkan desa dan derap pembangunan di desa nyaris sayup-sayup tertinggal
oleh kota, tidak kita bayar dengan memanjakan besarnya Dana Desa semata. Tata
kelola dan keadilan desa harus terus ditegakkan dengan konsisten sebagaimana
dimandatkan dalam UU Desa.
***Penulis
adalah Pengajar pada fakultas ilmu sosial dan ilmu
politik (FISIP) Univ. Brawijaya Malang, sedang menempuh program doktoral pada
Universitas Airlangga.
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....