Undang-Undang Desa dapat menjadi kekuatan untuk memperkokoh
pembangunan pada komunitas paling dasar, yaitu desa. Namun, di tengah ikatan
sosial yang memudar, sanggupkah desa menghadapi gempuran yang akan terjadi
setelah pasar bebas ASEAN diberlakukan tahun 2015?
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 adalah buah pergulatan panjang pemikiran untuk menjadikan desa
sebagai basis pembangunan kualitas kehidupan. Tarik-ulur utama dari perdebatan
tentang desa adalah pada kewenangannya, antara tersentralisasi atau
desentralisasi. Sejak kemerdekaan Negara Republik Indonesia hingga kini,
setidaknya ada enam undang-undang yang memberikan rumusan wewenang desa.
Pertama Pasal 18 Ayat (7) dan
Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan pengakuan dan penghormatan
atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian muncul UU No 19 Tahun 1965 tentang
Pembentukan Desa Praja. Meskipun undang-undang ini mengatur daerah otonom adat
yang setingkat desa, tetapi ada semangat untuk menyeragamkan istilah desa. UU
tersebut belum sempat diberlakukan, hingga munculnya UU Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
meletakkan dasar hukum bagi penyeragaman nama, bentuk, susunan, dan kedudukan
pemerintahan desa. Desa, menjadi lebih tersentralisasi dan dikendalikan oleh
struktur di atasnya. Penerapan model ini berlangsung cukup lama, hingga era
reformasi kemudian memformulasikan pandangan yang berbeda. Hak-hak desa yang
lebih otonom dan pengakuan akan hak asal-usul dan keberagaman kian menjadi
perhatian. Lahirnya UU No 22 Tahun 1999, setidaknya mulai mencerminkan hal
tersebut, dan makin disempurnakan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Meski demikian, dalam
praktiknya, selama otonomi daerah diberlakukan, perhatian lebih tersedot pada
hak-hak otonomi kabupaten/kota, sedangkan desa lebih sebagai komoditas politik
pemilihan kepala daerah. Dana yang terserap untuk pembangunan desa pun dirasa
sangat minim dan hanya cukup untuk belanja operasional pemerintahan. Hasil
survei Potensi Desa yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS, 2011)
menunjukkan, rata-rata desa hanya mengelola anggaran Rp 254 juta.
Munculnya UU No 6/2014 tentang
Desa bisa dikatakan sebagai upaya yang revolusioner. Dalam undang-undang ini
definisi desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Semula, kewenangan desa menjadi
bagian dari politik desentralisasi yakni otonomi daerah, sekarang berubah menjadi
asas rekognisi dan subsidiaritas (R Yando Zakaria, 2014). Desa, juga diberi
kewenangan yang lebih luas dalam merencanakan pembangunan desa dan pengelolaan
keuangan. Desa akan menjadi basis pembangunan. Dengan limpahan dana yang jauh
lebih besar dari sebelumnya dan pengelolaan yang lebih leluasa, desa menjadi
wilayah otonomi yang terkait langsung dengan kehidupan warga.
Di dalam penjelasan Pasal 72
Ayat (2) tentang Keuangan Desa, alokasi anggaran yang langsung ke desa
ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah. Dana 10
persen dari dan transfer daerah dari APBN sebesar Rp 59,2 triliun, ditambah
dengan dana dari APBD sebesar 10 persen atau sekitar Rp 45,4 triliun. Total
dana untuk desa menjadi Rp 104,6 triliun yang akan dibagi ke 72.944 desa
se-Indonesia. Hitungan secara kasar, diperkirakan setiap desa akan mendapatkan
dana sekitar Rp 1,4 miliar, yang besar kecilnya bergantung pada kondisi desa.
Besarnya transfer dana ini sekitar lima kali rata-rata dana yang sekarang ini
dikelola oleh desa.
Gelontoran dana sebesar itu
tentu akan berpengaruh besar pada perubahan wajah desa. Tidak saja
infrastruktur, tetapi program-program penguatan ketahanan ekonomi masyarakat
juga bisa dikembangkan. Terlebih, menghadapi saat diberlakukannya pasar bebas
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015, desa menjadi basis pertahanan utama
kekuatan ekonomi sebuah negara. Pasar bebas antarnegara ASEAN ini, paling
tidak, akan berpengaruh besar dalam dua hal: tenaga kerja dan produktivitas
desa.
Pergerakan bebas perdagangan dan
investasi akan menciptakan banyak lapangan kerja baru. Organisasi Buruh
Internasional (ILO) memperkirakan, permintaan akan tenaga kerja level rendah
akan meningkat 24 persen atau 12 juta orang. Kebutuhan ini, tentu saja,
sebagian akan dipenuhi oleh tenaga kerja dari pedesaan sehingga desa-desa yang
tidak bisa mengoptimalkan peluang ekonomi akan makin ditinggalkan tenaga kerja.
Padahal, gejala semakin turunnya minat untuk bekerja di sektor pertanian saat
ini saja sudah terlihat jelas. Data BPS menunjukkan, dalam setahun saja, tenaga
di sektor pertanian sudah menyusut dari 41,2 juta orang pada Februari 2012
menjadi 39,96 juta orang pada Februari 2013.
Produktivitas desa juga akan
sangat ditentukan oleh daya tahan masyarakat terhadap kompetisi bebas yang akan
terjadi. Desa-desa yang tak mampu meningkatkan daya saing kualitas hasil
pertanian dan ekonomi kreatifnya, akan semakin tertinggal. Untuk itu,
diperlukan upaya konsolidasi komponen masyarakat desa guna menciptakan program
riil yang prospektif. Dana besar yang digelontorkan ke desa, selayaknya dapat
digunakan untuk mendorong perkembangan ekonomi setempat.
Jika pemberdayaan masyarakat dan
upaya menjaga ikatan sosial desa tidak dilakukan, bukan tidak mungkin, apa yang
akan ingin dicapai lewat diberlakukannya Undang-Undang Desa ini akan sia-sia.
Terlebih, dalam kondisi modal sosial desa yang makin lemah sekarang ini.
Beberapa indikator yang terbaca lewat survei Potensi Desa (BPS) menunjukkan,
aktivitas gotong-royong pada masyarakat desa mulai menurun, dari 94 persen desa
yang masih melakukannya pada tahun 2003, menjadi 89 persen pada 2011. Kegiatan
lembaga swadaya masyarakat pun turun drastis di pedesaan, dari 19 persen desa
yang masih melakukannya pada tahun 2005, menjadi hanya 8 persen pada 2011.
Melihat tren perubahan sosial
yang terjadi di desa, ke depan diperlukan upaya-upaya maksimal untuk mengikat
modal sosial agar tak tergerus atau lari. Terlebih, homogenitas desa kini sudah
kian mengarah ke heterogenitas masyarakat. Keberagaman etnis misalnya, selama
delapan tahun terakhir meningkat dari 62 persen menjadi 75 persen. Ini artinya,
desa-desa sekarang ini semakin majemuk dengan berbagai suku. Kondisi ini
memerlukan pemahaman baru atas potensi desa, diperlukan ikatan-ikatan sosial
baru yang mampu menjembatani perbedaan dan mengubahnya menjadi modal sosial
yang bermanfaat. Ikatan sosial desa, tak seharusnya hanya bersandar pada
kekuatan homogenitas asal-usul, tetapi juga pada heterogenitas multikulturalnya
saat ini.
Upaya untuk dengan cepat mengubah
desa sebagai basis otonomi, jika tanpa diiringi mekanisme pengawasan yang
maksimal dan tanggung jawab perangkat desa, dapat menjadi bumerang yang justru
menghancurkan ikatan sosial warga. Fragmentasi masyarakat sangat mungkin
terjadi, ketika pemerintahan desa menjadi sumber daya yang semakin menarik
orang-orang untuk berebut jabatan. Pola-pola perebutan kekuasaan dan korupsi
seperti yang selama ini terjadi pada level kabupaten/kota, sangat mungkin
berpindah ke level desa. Jika ini terjadi, maka otonomi desa akan berubah
menjadi bursa bebas masuk penjara.
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....