Tertanggal 15 Januari
2014 merupakan hari bersejarah bagi desa. Pengesahan UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa diundangkan dalam lembaran Negara RI tahun 2014 No. 7 yang
termaktub 122 pasal di dalamnya. Regulasi tersebut diikuti dengan penganggaran
pemerintah pusat dengan menggelontorkan dana yang cukup besar untuk setiap
desa. Tahun 2016, dana desa meningkat menjadi Rp. 46,98 triliun dengan
rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp 628 juta. Di tahun 2017,
dana desa kembali ditingkatkan, yaitu Rp. 60 triliun dengan rata-rata tiap desa
Rp. 800 juta (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2017).
Sumber Gambar : Faktualnews.co
Seharusnya,
dengan disahkannya UU Desa dan pemberian dana tersebut, kemajuan desa adalah
sebuah keniscayaan. Dana yang digulirkan setiap tahun, seyogyanya berbanding
lurus dengan meningkatnya tatanan fisik dan human development index (HDI) yang
ada di setiap desa khususnya di daerah tertinggal. Jika hal tersebut tidak
terjadi, dapat dipastikan ada kekeliruan dalam implementasi.
Hasil
evaluasi selama tiga tahun pelaksanaannya, Dana Desa terbukti telah
menghasilkan sarana/prasarana yang bermanfaat bagi masyarakat, antara lain
berupa terbangunnya lebih dari 95,2 ribu kilometer jalan desa; 914 ribu meter
jembatan; 22.616 unit sambungan air bersih; 2.201 unit tambatan perahu; 14.957
unit PAUD; 4.004 unit Polindes; 19.485 unit sumur; 3.106 pasar desa; 103.405
unit drainase dan irigasi; 10.964 unit Posyandu; dan 1.338 unit embung dalam
periode 2015-2016 (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2017). Pencapaian
tersebut diharapkan dapat meningkat dengan adanya pengelolaan dana desa yang
lebih baik tentunya.
Jika digarap dengan profesional, dana
desa mampu dijadikan sebagai modal awal untuk memandirikan desa. Jika Indonesia
adalah tubuhnya, maka desa adalah kaki-kakinya. Jika kakinya banyak, maka badan
sulit untuk jatuh.
Pemerintah
saat ini benar-benar memberikan perhatian besar pada desa. Sebagai salah satu
strategi untuk “memperkuat” desa. Kelembagaan terkait tatanan desa diperbarui
setiap tahun. Mulai dari Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2015 yang mengatur
tentang prioritas penggunaan dana desa tahun 2015 hingga Peraturan Menteri
Nomor 19 Tahun 2017 yang mengatur tentang penetapan prioritas penggunaan dana
desa tahun 2018.
Namun,
ihwal peralihan peraturan menimbulkan konflik baru secara internal di kalangan
masyarakat desa. Pada poin-poin tertentu, konflik ini timbul karena tidak
sesuai dengan tatanan desa. Sebagaimana peribahasa dalam bahasa Jawa, “Desa
mawa cara, negara mawa tata” yang berarti desa punya adat
sendiri, negara memiliki tatanan tertentu.
Problema
yang penulis temukan di lapangan adalah pemerintahan desa telah semangat
mengajak masyarakatnya bergerak menuju ekonomi yang berdikari. Namun
realisasinya belum sesuai apa yang diinginkan. Perihal kondisi ekonomi,
khususnya di daerah tertinggal yang penulis pernah singgahi, yaitu Bangkalan
dan Sampang, masyarakat lebih memilih untuk memperoleh hasil secara langsung.
Nyata di masyarakat setelah panen bagi petani atau nelayan, langsung menjual
hasilnya tanpa repot memberikan sentuhan nilai tambah terlebih dahulu. Sehingga,
pendapatan yang diperoleh terlampau sedikit. Jika perihal tersebut
terus-menerus dilanjutkan, tidak akan ada titik temu pembangunan ekonomi desa.
Dari
permasalahan tersebut, beberapa stakeholder harus andil dalam perencanaan serta
pelaksanaan implementasi dana desa untuk mewujudkan pembangunan desa sebagai
wujud nawa cita ke-3 Presiden Jokowi, yakni “Membangun Indonesia dari Pinggiran
dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa dalam Kerangka NKRI.”
Kesejahteraan
masyarakat desa tanggung jawab siapa?
Berbicara
hal tersebut, tentunya ada beberapa stakeholder yang akan terlibat di dalamnya.
Permasalahan terkait kesejahteraan sosial tidak akan habis menjadi tugas rumah
bagi pemerintah khususnya di setiap periode pemerintahan. Meski demikian,
pemerintah telah membuat kelembagaan yang teratur, meskipun tidak menutup
kemungkinan ada cela dari ketidakberhasilan program yang telah direncanakan.
Dalam
khazanah ilmu ekonomi pembangunan, ada tiga indikator masyarakat dikatakan
sejahtera yang terangkum dalam indeks pembangunan manusia (IPM). Pendapatan per
kapita, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat.
Indonesia
yang masih berstatus sebagai negara berkembang, belum dapat dikatakan
sejahtera. Sebab, kesenjangan amat terlihat. Kesenjangan bukan semata tentang
penghasilan dan kekayaan. Kesenjangan juga menyangkut peluang atau kesempatan,
seperti tidak meratanya akses atas layanan kesehatan dan pendidikan. Keduanya
memiliki keterkaitan yang erat, di mana ketidaksetaraan kesempatan tersebut
mengakibatkan outcomes yang tidak setara. Tidak
terkecuali pada pulau-pulau kecil yang merupakan daerah tertinggal.
Madura
merupakan salah satu pulau di Indonesia yang dua kabupaten di dalamnya termasuk
dalam kategori daerah tertinggal. Dua kabupaten di Madura yang dikategorikan
sebagai daerah tertinggal menurut Perpres Nomor 131/2015 adalah kabupaten
Bangkalan dan Sampang. Kriteria penggolongan tersebut dilihat dari tiga aspek
yaitu ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan akses pendidikan. Hal ini
sejalan dengan rendahnya IPM, terkhusus di desa-desa tertinggal.
Agaknya,
pemerintah berperan besar dalam setiap proses penyelesaian masalah desa.
Lantas, bagaimana peran masyarakat? Apakah kesalahan kurangnya kesejahteraan
melulu kesalahan program pemerintah? Masyarakat sebagai pemberi dan
penerima dampak sudah barang tentu memiliki tanggung jawab moril yang besar
dalam meminimalisirnya. Apalagi setelah ada “perlakuan khusus” terhadap desa.
Masyarakat berhak menentukan secara
mandiri penggunaan dana desa sesuai musyawarah desa (Musdes) sebagaimana yang
telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014. Dari perspektif regulasi tersebut,
fleksibilitas penggunaan dana desa sangat tinggi.
Realisasinya,
masyarakat berhak menentukan secara mandiri penggunaan dana desa sesuai
musyawarah desa (Musdes) sebagaimana yang telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun
2014. Dari perspektif regulasi tersebut, fleksibilitas penggunaan dana desa
sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat ketika menyusun Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBDes). Jika peruntukkan dana desa diimplementasikan dengan
sungguh-sungguh, penyerapan paling besar menitikberatkan pada pembangunan
infrastruktur.
Maka,
salah satu kunci sukses kemajuan desa adalah pembangunan infrastruktur dan
peningkatan kualitas manusia yang harus bersamaan.
Oleh : Nurul Aini. Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Trunojoyo Madura. Hadir di beberapa forum keilmuan tingkat internasional
Sumber : kampusdesa.id
http://kampusdesa.or.id/rasionalitas-dan-ekspektasi-impelentasi-dana-desa/
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....