“Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tetapi
Indonesia baru akan bercahaya karena lilin-lilin di desa”,
- Bung Hatta.
Begitu
pentingnya pemberdayaan desa hingga seorang proklamator bangsa menyebutkan
bahwa kejayaan Indonesia tidak bisa lepas dari peran serta 74.957 desa yang ada
di dalamnya. Sebagai unit pemerintahan terkecil, desa menyimpan roda ekonomi
yang siap digerakkan. Komitmen Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla untuk membangun Indonesia dari pinggiran didukung oleh beragam program
yang semakin menjadikan desa sebagai prioritas pembangunan. Sebut saja, Produk
Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades), Pembangunan Embung, Pembentukan Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes), dan Sarana Olah Raga.
Selain
itu, lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri Tahun 2017 tentang
Penyelarasan dan Penguatan Kebijakan Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, semakin mendorong kemandirian desa dengan adanya skema Padat
Karya Tunai. Ditemui di ruang kerjanya, Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Eko
Sandjojo berbagi kepada tim Warta Pengawasan (WP) mengenai skema yang lebih
sering dikenal dengan Program Padat Karya Tunai tersebut.
Membuka
perbincangan, Eko menyebutkan bahwa kini desa tidak lagi sekedar objek dan
lokus pembangunan. Penentuan kegiatan secara top-down tidak lagi efektif
sehingga desa perlu diberikan keleluasaan untuk menentukan kebutuhannya. Hal
ini sejalan dengan tujuan UU Desa untuk mewujudkan desa mandiri yang mampu
mengatur dan membangun daerahnya dengan memaksimalkan potensi yang ada di mana
bantuan pemerintah hanya sebagai stimulan.
Filosofi
dana desa adalah penyaluran uang ke desa yang bukan hanya untuk pembangunan,
melainkan sebesarbesarnya dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat. Dengan begitu, daya beli dan pertumbuhan ekonomi di desa bisa
meningkat.
Selain
itu, pembangunan yang dibiayai oleh dana desa wajib dilakukan secara swakelola.
Hal ini pula yang melatarbelakangi penandatanganan SKB 4 Menteri antara
Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi, Kementerian Keuangan, Kementerian
Dalam Negeri, dan Kementerian PPN/ Bappenas, serta revisi Peraturan Kepala LKPP
Nomor 13 Tahun 2013. “Juknisnya (Padat Karya Tunai) sudah dibuatkan oleh Dirjen
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPMD). Sebetulnya Dana Desa pada
dasarnya sudah Cash for Work, cuma ada beberapa bupati atau kepala desa yang
menggunakan kontraktor. Jadi peraturan ini untuk memastikan tidak ada lagi yang
pakai kontraktor”, ujar Menteri yang sudah menjabat sejak tahun 2016 ini.
Di
dalam SKB 4 Menteri tersebut juga diatur bahwa paling sedikit 30% dari proyek
dana desa wajib digunakan untuk membayar upah masyarakat yang dibayar secara
harian atau paling lambat mingguan. “Jadi langsung ada income, langsung ada
daya beli, ekonomi di desa berputar, karena efek dari setiap income itu kan 5x
lipat. Kalau dana desa tahun ini 60 triliun dan 30% buat bayar upah, berarti
efek daya beli di desa tahun ini dari dana desa saja bisa sampai 90 triliun.
Nah, diharapkan 90 triliun ini bisa mengungkit daya beli di desa,” jelas Eko.
Meski begitu, alokasi upah sebesar 30% tersebut tidak berlaku bagi pembangunan
jalan dan jembatan yang sebagian besar dana terserap untuk pembelian material
dan sewa alat.
Selain
untuk melengkapi sasaran dana desa, seperti infrastruktur, skema Padat Karya
Tunai ditargetkan menyerap 5-6,6 juta lapangan kerja. “Kita tidak mau proyek
ini menggunakan masyarakat yang sudah bekerja. Jadi kita sarankan, upahnya itu
sampai dengan 80% Upah Minimum Regional (UMR),” ujar pria lulusan University of
Kentucky, Lexington ini. Agar pengelolaan dana desa berjalan efektif dan
transparan, Eko mengatakan bahwa kuncinya ada dua, yaitu pendampingan dan
pengawasan.
Terkait
pendampingan, pihaknya melakukan kerja sama dengan Kepolisian RI, Kejaksaan,
dan Kementerian Dalam Negeri dengan membentuk Satgas Dana Desa yang dapat
dihubungi melalui nomor 1500040. Setiap laporan penyelewengan atau upaya
kriminalisasi kepala desa akan ditindaklanjuti dalam 3x24 jam. Eko mengharapkan
agar institusi tersebut bersinergi untuk mengantisipasi kekhawatiran kepala
desa yang dapat menyebabkan tidak terealisasinya dana desa. Dalam pengawalan
akuntabilitas keuangan dan pembangunan, Eko menilai BPKP sangat membantu dalam
hal pengawasan, baik melalui aplikasi Siskeudes maupun bentuk pengawasan
lainnya di tingkat kementerian. “Tahun lalu, 93% desa sudah memakai Siskeudes.
Tahun ini kita targetkan 100%,” tegasnya.
Keterlibatan
masyarakat dalam pengawasan penggunaan dana desa juga krusial. Oleh karena itu,
Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi menggandeng sejumlah media untuk turut
serta menyebarkan informasi terkait dana desa dan kegiatannya. Dengan adanya
kesadaran dan kepedulian dari masyarakat, akan timbul kesadaran untuk ikut
mengawasi efektivitas pelaksanaan program pemerintah.
Dana Desa, Sebuah Solusi Penguatan Desa
Dikucurkan
sejak tahun 2015, penyerapan dana desa semakin optimal setiap tahunnya.
Berdasarkan rekapitulasi pemanfaatan dana desa hingga tahun 2017, terdapat
peningkatan status desa dan penurunan angka kemiskinan. Menengok sasaran RPJMN
Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi, pengentasan desa tertinggal telah
melebihi target, yaitu 11 ribu desa tertinggal telah berubah menjadi desa
berkembang dan 7 ribu desa berkembang menjadi desa mandiri.
Hal
tersebut diikuti dengan penurunan ratarata jumlah penduduk miskin sebesar
1,33%. Selain untuk menunjang efektivitas ekonomi masyarakat, seperti 123.145
km jalan desa, 791.258 m jembatan, 5.220 unit pasar desa, dana desa juga
dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pembangunan 38.217
km drainase, 11.424 unit Posyandu, 6.504 unit Polindes, dan 37. 496 unit sarana
air bersih dinilai turut mendukung penurunan angka stunting dalam tiga tahun
ini hingga hampir 10%. “Sarana air bersih kita sediakan, ekonomi masyarakat kita
tingkatkan, ada MCK, jadi angka stunting bisa turun.
Untuk
menyiapkan Indonesia menjadi negara maju, angka stunting ini perlu diturunkan
karena yang terganggu tidak hanya pertumbuhan fisik saja. Pertumbuhan otak juga
tidak maksimal, jadi tidak bisa sekolah lebih dari kelas 6 SD”, tutup Eko di
akhir sesi wawancara sore itu. Atas pengelolaan Dana Desa yang dianggarkan
sebesar 10% dari dan di luar Dana Transfer ke Daerah, dituntut adanya
akuntabilitas dan transparansi agar pembangunan dapat selaras dengan Tri Sakti
proklamator kita terdahulu, yaitu menjadikan Indonesia berdaulat secara
politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.
Diolah
dari Majalah WARTA PENGAWASAN 16 VOL
XXV/ NOMOR 1/ TAHUN 2018