Oleh: Wisnu Prasetya Utomo
Peneliti media Remotivi
Bagaimana mengatasi berita-berita palsu (hoaks) yang semakin hari
semakin membanjiri dan menembus ruang-ruang personal kita?
Bagi sebagian orang, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah
dengan melakukan periksa fakta (fact checking),
fenomena yang berkembang di berbagai negara seiring dengan perkembangan hoaks
itu sendiri. Asumsinya, dengan melakukan periksa fakta, informasi-informasi
yang terbukti bohong bisa dipatahkan dengan sendirinya. Orang yang awalnya membaca
informasi palsu kemudian akan disadarkan setelah membaca informasi yang
sebenarnya.
Namun, kenyataannya memberantas informasi hoaks tidak
semudah itu. Usaha untuk menampilkan fakta yang sebenarnya kerap kali berakhir
dengan sia-sia. Ini terjadi karena pada dasarnya problem utama tidak terletak
pada informasi palsu itu sendiri, melainkan pada apa yang diyakini oleh
seseorang. Keyakinan dengan dasar apapun–seperti politik, agama, kultur– kerap
membuat orang mengedepankan prasangka alih-alih fakta.
Prasangka
tersebut yang kerap kali dibawa ketika berpendapat di ruang publik seperti di
media sosial. Tak terkecuali ketika membaca dan membagi informasi. Dalam
kondisi demikian, kebenaran informasi—apakah ia berbasis pada fakta atau
kebohongan–menjadi tidak penting lagi. Hal yang dianggap lebih penting adalah,
apakah informasi tersebut mengafirmasi keyakinan yang dimiliki atau tidak.
Informasi
yang faktual dengan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan cenderung akan
diabaikan kalau tidak sesuai dengan keyakinan. Sebaliknya, setidak masuk akal
apapun sebuah informasi palsu, ia akan dipercaya sebagai sebuah kebenaran jika
berada garis keyakinan yang sama dengan pengakses informasi. Fenomena Ini
menjelaskan mengapa bahkan orang yang intelek sekalipun bisa dengan mudah
percaya informasi palsu. Dengan kata lain, informasi-informasi palsu ibarat
bensin yang disiramkan ke api.
Pada titik ini, relevan untuk mendiskusikan literasi media
sebagai salah satu upaya untuk melawan banjir informasi palsu yang pelan-pelan
merusak kehidupan demokrasi kita. Perlu dicatat, sebagai salah satu upaya,
tentu ia masih membutuhkan faktor-faktor lain jika ingin menekan bahkan
memberantas informasi palsu. Artikel pendek ini tidak akan membahas
faktor-faktor lain tersebut dan hanya membatasi pada literasi media.
Literasi media sendiri tidak sekadar
kemampuan untuk membedakan mana informasi yang benar dan bohong. Lebih dari
itu, literasi media memberi perhatian pada kemampuan berpikir kritis dalam
membaca pesan-pesan media atau informasi. Dalam konteks ini, ia menjadi
perangkat pengetahuan yang membuat orang bisa membaca sebuah informasi between
the lines (mengambil kesimpulan-red).
Sebagai
contoh, dalam membaca informasi sebuah media kita tidak bisa menelan
mentah-mentah begitu saja. Literasi media memungkinkan upaya pembacaan atas
sebuah berita menjadi lebih jauh dari apa yang tampak dalam teks berita. Sebuah
berita media adalah produk dari berbagai kontestasi kepentingan. Setiap media
digerakkan oleh kepentingan ekonomi politik masing-masing. Begitu pula dengan
informasi palsu yang beredar di media sosial. Ia digerakkan oleh “tangan-tangan
tak terlihat” yang punya kepentingan tertentu dengan menyebarkan informasi
palsu.
Kita
bisa melihat dari pengalaman Amerika Serikat dan Inggris di tahun 2016.
Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat diwarnai ledakan
informasi palsu dalam periode pemilihan umum. Ledakan yang sedikit banyak
memiliki peran dalam terpilihnya Trump. Sementara di Inggris, referendum yang
memutuskan negara tersebut keluar dari Uni Eropa juga diwarnai dengan informasi
palsu yang membuat banyak warga memilih tanpa basis fakta dan data yang
memadai. Keputusannya lebih didorong dan digerakkan oleh prasangka sebagai
konsekuensi dari gempuran informasi-informasi palsu.
Melihat dua kasus tersebut, tak
mengherankan jika kamus Oxford menjadikan kata post-truth sebagai word
of the yearpada 2016. Post-truth adalah kondisi dimana fakta tidak lagi
menjadi penting dan prasangka menjadi bahan pertimbangan yang paling utama
dalam mengambil sebuah keputusan tertentu. Dalam konteks di Indonesia, kita
bisa melihat fenomena ini dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa waktu
lalu. Potensi semakin mewabahnya informasi palsu dan mempengaruhi pilihan
politik warga akan semakin membesar di tahun-tahun ke depan.
Karena
itu, bahasan literasi media tetap penting. Selama ini, sebagai sebuah wacana,
literasi media lamat-lamat terdengar, khususnya bila dibandingkan dengan
upaya-upaya lain dalam menghadapi gelombang informasi palsu dan problem
berita-berita media lainnya. Misalnya saja seperti upaya Dewan Pers
memverifikasi media-media arus utama yang salah satu alasannya adalah
meminimalisir penyebaran informasi palsu. Atau juga model pemblokiran
situs-situs seperti yang biasa dilakukan pemerintah.
Membangun generasi kritis literasi media
Literasi media jarang terdengar karena efeknya baru bisa dirasakan dalam jangka waktu yang lama. Sebabnya, dalam literasi media yang dibangun adalah sebuah cara berpikir yang tentu membutuhkan proses panjang. Bahasan tentang literasi media sebenarnya sudah lama muncul. Tapi sifatnya masih parsial dan sulit menyentuh substansi persoalan. Hanya kalangan-kalangan tertentu saja yang melakukan ini seperti kampus dan organisasi masyarakat sipil dengan sifatnya yang masih elitis dan gagal menjangkau masyarakat luas.
Karena itu, saya berpendapat bahwa
dalam jangka panjang, literasi media harus dimasukkan ke dalam kurikulum
pendidikan di Indonesia. Gagasan ini tidak berlebihan. Survei yang dilakukan
Nielsen (2016) menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia didominasi oleh
generasi Z (usia
10 -19 tahun) dan generasi millenniall (usia 20-34 tahun) dengan
masing-masing sebesar 34% dan 48%. Ini artinya para pengakses internet baik
yang menggunakannya untuk mengakses media daring maupun media sosial kebanyakan
adalah pelajar.
Ini adalah tantangan literasi media
di era digital. Generasi Z dan millennial adalah generasi yang tumbuh besar
bersama perangkat teknologi dan internet. Sebagai digital natives (generasi yang lahir di saat era
digital sudah berlangsung dan berkembang pesat-red), mereka menerima media
sosial sebagai sesuatu yang taken for granted (sesuatu yang sudah
biasa-red). Ini berbeda dengan generasi orang tua mereka yang masuk dalam
kategori digital
immigrant (generasi yang lahir sebelum generasi digital belum
begitu berkembang-red).
Melihat
fakta tersebut, tentu relevan untuk memasukkan literasi media ke dalam
kurikulum pendidikan dan menjadi bagian dari pelajaran yang mereka terima
secara formal. Bukan hanya berdasarkan pada kepekaan masing-masing individu semata.
Dengan begitu, sejak masih belajar di sekolah, para pelajar dibekali perangkat
pengetahuan yang penting bagi mereka khususnya dalam mengakses informasi di
internet.
Dengan
kata lain, fokus literasi media dalam kurikulum pendidikan adalah memastikan anak-anak
mampu membaca perkembangan teknologi termasuk konsekuensi pesan di dalamnya
secara kritis. Serta yang lebih penting adalah menggunakannya secara bijak.
Tidak hanya berkaitan dengan konflik sosial, hal ini penting sebagai upaya juga
menangkal gejala radikalisi agama yang marak menggunakan medium media sosial.
Sementara itu dalam jangka pendek, yang dibutuhkan adalah
peran dari para pemangku kepentingan baik itu regulator media, pemerintah, dan
yang lebih penting adalah kelompok masyarakat sipil khususnya
komunitas-komunitas yang bersentuhan langsung dengan warga yang terpapar
informasi palsu. Dalam masyarakat yang rentan terpapar informasi palsu,
kebutuhan akan literasi media menjadi begitu mendesak. Bagaimana caranya?
Seperti
disinggung di atas, pada dasarnya literasi media berkaitan dengan kesadaran
kritis. Karena itu, untuk menumbuhkannya adalah dengan tetap menumbuhkan
skeptisisme pada berbagai informasi yang datang. Baik itu dari media-media arus
utama, apalagi dari sumber yang tidak bisa diverifikasi. Kita tidak boleh
memberikan kepercayaan seratus persen kepada media arus utama dan sumber-sumber
lainnya. Sebaliknya, tidak boleh juga berlebihan dalam meragukan sebuah
informasi kalau memang ia bisa diuji dan dipertanggungjawabkan.
Berangkat
dari ketidakpercayaan tersebut, yang dilanjutkan pada tahap selanjutnya adalah
melakukan upaya pembacaan terhadap sebuah informasi atau berita dengan lebih
menyeluruh. Ini melampaui benar atau salah. Misalnya dengan menghubungkan
sebuah berita media dengan kepemilikan media atau kepentingan ekonomi politik.
Atau juga menautkan antara informasi palsu dengan siapa-siapa saja yang secara
aktif menyebarkannya.
Upaya
ini tentu saja berada dalam wilayah ideal, dan patut dicatat bahwa literasi
media bukanlah sebuah panasea (obat-red) yang bisa dengan tiba-tiba
menghilangkan rasa sakit. Ia menjadi upaya terus-menerus yang hasilnya kerap
tidak datang dalam waktu singkat. Apalagi seperti di era digital saat ini yang
penuh dengan disrupsi (tercerabut dari akarnya-red). Tetapi waktu sudah
mendesak, jika ia tidak dilakukan, kita semua akan dengan mudah tersapu
gelombang informasi palsu, sampai jauh.
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....