UU Desa yang didukung PP No. 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan
PP No. 60 tentang, Dana Desa yang Bersumber dari APBN, telah memberikan pondasi
dasar terkait dengan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa
berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sebelum UU Desa tersebut ditetapkan, sejak
Indonesia merdeka, telah ditetapkan pula beberapa Undang-Undang yang secara
ekslusif maupun mandiri mengatur tentang desa. Undang-undang itu antara lain :
UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 1 tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 19 tahun 1965 tentang Desa
Praja, UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, UU No. 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, dan terakhir (hingga sebelum 15 Januari 2014) adalah UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sepanjang menyangkut Desa mulai dari Pasal 200
s/d Pasal 216.
Wajah baru desa menjadi harapan mengiringi UU
Desa dengan posisi, peran dan kewenangan desa yang baru. Karena pada peraturan
perundang-undangan sebelumnya, kewenangan desa hanya bersifat target, dan
dengan UU Desa ini kewenangan desa bersifat mandat. Kedudukan desa menjadi
pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing community dan local self
government, bukan sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem
pemerintahan kabupaten/kota (local state government).
Desa mempunyai posisi dan peran yang lebih
berdaulat, posisi dan peran yang sangat besar dan luas dalam mengatur dan
mengurus desa. Model pembangunan yang dulunya bersistem Government driven
development atau community driven development, sekarang bersistem Village
driven development.
Dari sisi politik tempat, dengan UU Desa ini
posisi desa bisa menjadi “arena” pelaksanaan program pembangunan dari
pemerintah, tidak seperti dulu lagi yang hanya sebatas sebagai “lokasi” program
pembangunan.
Dengan begitu desa akan bisa menyelenggarakan
pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat sendiri secara penuh. Desa
akan menjadi subjek pembangunan bukan lagi sebagai objek. Dengan pendekatan
fasilitasi, emansipasi dan konsolidasi. Dan sekarang ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan imposisi, tidak seperti masa sebelumnya yang menggunakan
pendekatan mutilasi sektoral.
Dengan dua azas utama “rekognisi” dan
“subdidiaritas” UU Desa mempunyai semangat revolusioner, berbeda dengan azas
“desentralisasi” dan “residualitas”. Dengan mendasarkan pada azas
desentralisasi dan residualitas desa hanya menjadi bagian dari daerah, sebab
desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota.
Disamping itu, desa hanya menerima pelimpahan
sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Sehingga desa hanya menerima sisasisa
lebihan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk Alokasi
Dana Desa. Kombinasi antara azas rekognisi dan subsidiaritas UU Desa
menghasilkan definisi desa yang berbeda dengan definisi-definisi sebelumnya.
Desa didefinisikan sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.
Dengan definisi dan makna itu, UU Desa telah
menempatkan desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat
berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local
self government).
Dengan begitu, sistem pemerintahan di desa
berbentuk pemerintahan masyarakat atau pemerintahan berbasis masyarakat dengan
segala kewenangannya (authority). Desa juga tidak lagi identik dengan
pemerintah desa dan kepala desa, melainkan pemerintahan desa yang sekaligus
pemerintahan masyarakat yang membentuk kesatuan entitas hukum. Artinya,
masyarakat juga mempunyai kewenangan dalam mengatur desa sebagaimana
pemerintahan desa. Kewenangan merupakan elemen penting sebagai hak yang
dimiliki oleh sebuah desa untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri.
Dari pemahaman ini jelas bahwa dalam membahas
kewenangan tidak hanya sematamata memperhatikan kekuasaan yang dimiliki oleh
penguasa namun harus juga memperhatikan subjek yang menjalankan dan yang
menerima kekuasaan. Kewenangan harus memperhatikan apakah kewenangan itu bisa
diterima oleh subjek yang menjalankan atau tidak. Dalam pengelompokannya,
kewenangan yang dimiliki desa meliputi : kewenangan dibidang penyelenggaraan
pemerintahan desa, kewenangan dibidang pelaksanaan pembangunan desa, kewenangan
dibidang pembinaan kemasyarakatan desa, dan kewenangan dibidang pemberdayaan
masyarakat desa yang berdasarkan prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak
asal usul dan yang berdasarkan adat istiadat desa.
Dengan kewenangan yang dimilikinya, Desa
mempunyai hak “mengatur” dan “mengurus”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 UU
Desa, Desa maupun Desa Adat mempunyai kewenangan mengeluarkan dan menjalankan
aturan main (peraturan), tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan menjalankan
aturan tersebut. Atau bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan
menjalankan kegiatan pembangunan atau pelayanan, serta menyelesaikan masalah
yang muncul.