Dana desa, pada
periode ini, akan diarahkan pada pemberdayaan lewat penguatan sumberdaya
manusia (SDM), demikian pernyataan pemerintah dalam
sejumlah kesempatan. Bila sebelumnya pemerintah mendorong
peningkatan infrastruktur, sekarang perbaikan kualitas manusia mendapat
girilan. Peralihan butuh kehati-hatian.
Penambahan
dan perbaikan infrastruktur lazimnya merupakan kebijakan berwatak universal (universal
coverage), semua orang bisa menggunakan jalan dan jembatan atau
bangunan TK dan Pustu yang dilengkapi fasilitas memadai. Dengan demikian,
infrastruktur punya peluang besar untuk menambal ketimpangan antarwarga.
Sementara pembangunan yang menyasar SDM, di luar sistem sekolah yang dikelola
pemerintah supra-desa, biasanya cuma bisa menyasar kelompok masyarakat
tertentu. Hal semacam ini sering disebut kebijakan targeting.
Dengan
begitu, peralihan fokus ini membawa kita pada debat lama tentang kebijakan universal vs. targeting.
Amartya
Sen pernah menulis tentang sejumlah kelemahan politik ekonomi
kebijakan targeting dalam
upaya pengentasan kemiskinan. Menurutnya, daftar persoalan dalam targeting cukup
panjang, selain mahal karena butuh perangkat tambahan untuk menetapkan target,
beraneka distorsi juga menghantuinya baik dalam penentuan sasaran (informational
distortion) maupun pada warga yang mengubah perilaku ekonomi agar
dapat terus mengakses bantuan (Incentive distortion).
Lewat targeting,
warga penerima pun bisa menyandang stigma negatif karena menerima bantuan.
Namun yang paling penting di sini ialah kebijakan berwatak targeting cenderung
menempatkan warga sasaran sebagai pasien ketimbang agen aktif yang dapat
mengendalikan hidup dan penghidupan mereka. Pemerintah melakukan membuat
program dan melakukan seleksi, dan warga sasaran menunggu.
Karena
itu, peralihan fokus ke perbaikan kualitas SDM akan menimbulkan banyak
pertanyaan. Di sini kita ajukan satu pertanyaan saja: siapa yang akan menerima
manfaat dari program-program targeting yang mungkin akan dijalankan pemerintah
desa dalam mengupayakan pemberdayaan?
***
Sebuah
ilustrasi berdasar sebuah kajian mikro tentang satu dusun mungkin bisa memberi
gambaran tentang apa yang terjadi di sebuah desa dan dapat menciptakan distorsi
informasi dan membuat pemerintah desa kesulitan menentukan target atau
melaksanakan program yang menimbulkan diskriminasi yang justru memperdalam
ketimpangan.
Dusun
itu, dan keseluruhan desa, tidak mengalami perampasan tanah atau pengusiran
sejenis, sebagaimana terjadi di banyak tempat di Indonesia, tetapi para pekerja
berusia produktifnya masih terus terlempar keluar dari kampung halaman.
Dusun
itu terus kehilangan penduduknya sejak kejatuhan produksi tanaman utama, kakao,
pada awal 2000-an. Lebih sepuluh persen rumah di dusun itu kosong melompong dan
lebih banyak lagi hanya berisi para sepuh. Dusun itu menyumbang jauh lebih
banyak perantau daripada dusun-dusun tetangganya.
Apa yang
terjadi?
Para
perantau pergi ke dua tempat, Malaysia dan Sulawesi Tenggara. Mereka yang ke
Malayisa sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan pabrik. Perantau yang
mendatangi Sulawesi Tenggara pun begitu, kebanyakan menjadi buruh tani (kakao
dan sawit), dan sebagian lagi membuka lahan baru yang setidaknya pada masa-masa
awal juga mereka tanami kakao.
Mengapa
para perantau itu pergi? Grafik naik-turun jumlah perantau dalam rentang
belasan tahun tentu belum memadai menjawab pertanyaan itu. Ada tahun ketika
banyak orang pergi, ada pula tahun yang menyaksikan sedikit orang merantau, dan
pada tahun-tahun lain nihil.
Menghubungkan
masa-masa ketika banyak warga yang pergi dengan naik turunnya harga kakao juga
demikian. Ini faktor yang seringkali dicurigai menyebabkan orang merantau,
yaitu karena petani akan mengalami impas atau bahkan merugi. Hasilnya, ternyata
tidak terlalu berhubungan. Grafik kedua faktor itu jarang berdekatan, hanya
bersilangan di sedikit titik.
Demikian halnya
dengan grafik harga, melihat masa ketika harga-harga naik mengikuti gejolak
ekonomi nasional dan global semisal kenaikan kurs dollar atau harga BBM, juga
belum memadai. Asumsi bahwa bila harga beli produk petani tetap atau cuma naik
sedikit sementara harga-harga konsumsi meroket, petani akan merugi dan gagal
memertahankan usaha tani mereka, ternyata belum kuat.
Titik-titik
yang menunjukkan masa terjadinya gejolak ekonomi, seperti ketika harga BBM
naik—yang melambungkan harga barang-barang konsumsi, rupanya tak mendorong
warga dusun untuk berduyun-duyun meninggalkan kampung halaman.
Singkatnya,
faktor harga, baik harga beli produksi petani dan barang yang mereka konsumsi
bukan faktor utama yang mendorong para petani meninggalkan kampung.
Ternyata,
naik turun produksi lebih bisa menjelaskannya: setiap kali produksi menyusut,
angka perantau tampak meningkat, ketika jumlah produksi bertahan angka perantau
cenderung kecil atau bahkan nihil. Angka perantauan menanjak signifikan ketika
dan segera setelah produksi susut pada tahun 2000, 2006 dan 2017.
Namun
penjelasan ini belum memadai. Setelah produksi susut pertama kali pada tahun
2000, jumlah produksi tak pernah mengalami kenaikan sampai kembali mengalami
penurunan signifikan enam tahun setelahnya. Di sini muncul pertanyaan, mengapa
sebagian petani ‘menunggu’ sampai produksi kembali terjun bebas sebelum
menyusul tetangga mereka meninggalkan kampung? Mengapa mereka semua tak
langsung berangkat ketika produksi jatuh untuk pertama kali?
Untuk
itu kita harus tahu, siapa saja yang
pergi pada saat dan tak lama setelah produksi kakao menyusut. Sebagian besar
perantau beririsan pada dua karakteristik: mereka berusia muda dan kekurangan
atau bahkan tak punya tanah. Banyak dari perantau pergi saat mereka masih
bujangan atau keluarga muda. Mereka merasa belum akan diwarisi dari tanah
orangtua, atau sadar bahwa mereka tak akan mendapatkan warisan karena lahan kebun
orangtua mereka sangat sempit setelah dibagi di antara saudara—atau tak ada
sama sekali.
Itulah
kenapa mereka ‘menunggu’, mereka adalah generasi-generasi berbeda dari orang
muda desa yang ketika tiba pada usia produktif tak punya pilihan kecuali
berangkat ke perantauan.
Para
petani dengan luasan tanah lebih kecil dari satu hektar memang mendominasi para
perantau yang pergi ketika produksi sedang susut. Lebih tepatnya, saat para
perantau berangkat mereka hanya mengelola 0,5 ha ke bawah (termasuk yang tanpa
tanah samasekali), sedangkan mereka yang tetap tinggal rata-rata memiliki lahan
dua hektare ke atas.
Penjelasannya
sangat mudah: jika volume produksi dari lahan yang sempit menyusut sedikit
saja, petani tak akan sanggup lagi mengongkosi biaya produksi dan konsumsi
keluarga. Dan ketika produksi jatuh, para petani pemilik lahan tak sanggup lagi
membayar buruh upahan untuk merawat dan memanen kebun mereka.
Satu-satunya
jalan untuk keluar dari krisis ialah pergi dari desa.
***
Migrasi
para petani muda akibat kejatuhan produksi akan membuat lebih banyak desa
kekurangan tenaga produktif. Apabila pemerintahan pada periode ini akan
mengalihkan sasaran Dana Desa ke penguatan kualitas ‘SDM’ desa, pertanyaannya
ialah manusia yang mana?
Jumlah
keluarga dengan tanah sempit dan tunakisma di desa itu masih lebih banyak
daripada tetangga mereka yang sudah merantau. Mereka mungkin belum pergi karena
para tetangga yang lebih dulu merantau telah melonggarkan kesempitan lapangan
kerja di desa, tetapi dengan keadaan produksi pertanian yang tak kunjung
membaik, sangat mungkin mereka akan menyusul.
Bila
desa-desa hanya berisi para pensiunan petani, anak-anak kecil yang masih
bersekolah (yang mungkin tak memimpikan diri menjadi petani), atau mereka yang
karena tak punya warisan tanah kini sedang menunggu untuk merantau, siapa yang
akan mendapat untung dari investasi besar-besaran pemerintah?
Tatkala
orang-orang muda dari keluarga tunakisma atau berlahan sempit semakin
berkurang, kita bisa membayangkan mereka semakin terpinggirkan dari pengambilan
keputusan publik. Para calon perantau berusia produktif itu adalah kekuatan
yang bisa membawa perubahan sebab mereka berkepentingan terhadap perbaikan
sektor agraria di kampung mereka.
Namun
tanpa upaya serius untuk melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan publik,
aspirasi mereka akan dengan mudah terabaikan. Di sinilah kebijakan perbaikan
‘SDM’ yang cenderung diterapkan secara targeting bisa
tergelincir.
Perlu
dicatat bahwa Amartya Sen bukan ingin mengatakan bahwa targeting sama
sekali tidak dibutuhkan atau keliru, tapi menetapkan target perlu pertimbangan
berbeda dari yang selama ini banyak dipahami dalam pengentasan kemiskinan.
Misalnya,
taruhlah pemerintah bisa secara akurat menyasar warga miskin (dengan pendapatan
sebagai ukuran), yang kemungkinan besar adalah para tunakisma, dan melatih
mereka teknik bertani yang baik untuk meningkatkan produksi; pertanyaannya, ke
lahan siapa pengetahuan baru itu bisa mereka diterapkan?
Hal ini
tampak dalam kasus dusun di atas. Pada tahun 2013, ketika perantauan terhenti,
saat itu produksi membaik dengan pengenalan teknik baru (sambung samping) untuk
peremajaan pohon. Namun, melihat tingkat produksi yang mentok di titik itu,
tahun berikutnya perantauan kembali berlanjut. Perbaikan produksi rupanya belum
sampai pada taraf yang dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja dan mengasupi
kebutuhan para pemilik lahan sempit.
Selanjutnya,
bila para ‘SDM’ muda tunakisma sedang merantau, baik permanen maupun musiman,
atau dengan sengaja meminggirkan diri dari program-program pemerintah desa
karena pengalaman panjang mereka sebagai warga terpinggirkan, lantas siapa yang
akan ikut, misalnya, dalam kunjungan belajar yang terlanjur diprogramkan
pemerintah desa untuk peningkatan ‘SDM’?
Dan
sekali lagi, taruhlah pemerintah desa berhasil mengajak mereka, dan mereka
betul-betul mendapat pelajaran dari kunjungan itu, mau diterapkan ke mana
pengetahuan baru mereka?
Situasi
akan berbeda bila pemerintah desa melihat warga sebagai agen aktif: pemerintah
menawarkan program dan warga memilih sendiri untuk ikut atau tidak. Dicontohkan
oleh Sen, bila pemerintah menawarkan program-program yang membuka lapangan
kerja, warga bisa memilih untuk turut atau tidak, dengan menimbang antara lain
upah yang bisa mereka peroleh dari pekerjaan lain yang mereka tinggalkan, atau
rasio antara tenaga yang dikerahkan dengan upah yang mereka terima.
Contoh
lain, yang menurut saya penting dalam kasus Indonesia, pemerintah desa bisa
menawarkan program-program pendidikan yang diarahkan untuk meningkatkan
partisipasi warga marjinal dalam pengambilan keputusan publik—tentu dengan
sejumlah penyesuian yang mengikuti aktivitas keseharian dan keadaan mereka,
serta janji bahwa mereka benar-benar akan terlibat.
Kita
bisa membayangkan dengan pemberdayaan jenis ini, warga yang selama ini
terpinggirkan—semisal para (calon) tuna kisma muda—akan dapat mengartikulasikan
aspirasi mereka yang jarang terdengar dalam penetapan keputusan publik. Di sana
bisa muncul aspirasi tentang penyediaan lahan bagi mereka.
Dengan
kata lain, tanpa menimbang faktor ketimpangan agraria di antara warga desa,
secara sadar atau tidak, dana desa untuk penguatan ‘kualitas SDM’ boleh jadi
hanya akan menguatkan mereka yang memang sudah kuat. Sementara orang-orang lemah
tetap akan terlempar dari kampung halaman mereka.
Dengan
demikian, kampanye ‘pemberdayaan’ pemerintah lewat Dana Desa menjadi sulit
terwujud.
Oleh
: Nurhady
Sirimorok
Peneliti isu-isu
perdesaan; Pegiat di komunitas Ininnawa, Makassar.
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....