Pembinaan, pengawasan dan pendampingan desa
menjadi tema penting yang perlu dibicarakan berkenaan dengan implementasi UU
No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar
sistem demokrasi dan praktik akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan desa dapat berjalan dengan baik.
Sementara itu, berkaitan
dengan pendampingan sebenarnya pemerhati pembangunan telah mempopulerkan
istilah pendampingan sejak tahun 1980-an. Istilah ini berasal dari kata
’damping’ yang berarti sejajar (tidak ada kata atasan atau bawahan). Pendamping
adalah perorangan atau lembaga yang melakukan pendampingan, dimana antara kedua
belah pihak (pendamping dan yang didampingi) terjadi kesetaraan, kemiteraan,
kerjasama dan kebersamaan tampa ada batas golongan (kelas atau status sosial)
yang tajam. Isu penting dalam
konteks ini adalah peningkatan keberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat
memiliki daya desak yang efektif untuk mewujudkan tata kelola desa yang baik
dan penyelenggaraan pembangunan yang sesuai dan memenuhi aspirasi masyarakat.
Dalam kerangka itulah,
Pemerintah menetapkan kebijakan pendampingan sebagaimana tercantum pada Pasal 2
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Tahun
2015 Pendampingan Desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan
masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi Desa,
yang bertujuan:
1. Meningkatkan
kapasitas, efektivitas, dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan
Desa; Meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam
pembangunan desa yang pertisipatif;
2.
Meningkatkan sinergi
program pembangunan desa antar sektor; dan
3.
Mengoptimalkan aset
lokal Desa secara emansipatoris.
Mengingat luasnya ruang lingkup implementasi UU Desa,
Pemerintah dalam melaksanakan fungsi pendampingan, dapat melimpahkan sebagaian kewenangannya
kepada tenaga ahli profesional dan pihak ketiga (Pasal 112, ayat 4 UU Desa dan
Pasal 128, ayat 2 PP 43). Tenaga ahli profesional dimaksud adalah pendamping
desa, tenaga teknik dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat desa (Pasal 5
Permendesa No. 3/2015), termasuk diantaranya adalah Pendamping Lokal Desa
(Pasal 129, ayat 1 (a) PP No. 47 Tahun 2015). Dengan demikian, PLD yang akan
berhubungan langsung secara intensif dengan pemerintah dan masyarakat Desa,
menjadi aktor strategis menuju implementasi UU Desa secara optimal.
Lalu Pertanyaannya Sekarang adalah bagaimana implementasi kerja para
pendamping lokal desa ?
Banyak cerita berkaitan dengan kinerja
pendamping lokal desa sepanjang 2016 sampai 2019.
Perkembangan desa selama hampir lima tahun berjalan, beberapa pengalaman
desa menunjukkan betapa kehadiran pendamping lokal desa sangat diperlukan.
Bahkan dianggap berkontribusi positif mendampingi dan memfasilitasi masyarakat
dan pemerintah desa.
Salah satunya seperti yang ditulis oleh staf
khusus Presiden Joko Widodo, Prof Ahmad Erani Yustika dalam sebuah media online, beliau
menuliskan tentang Jejak pengabdian “pendamping desa”, beliau menuliskan
:
“Selama tiga tahun ini para pendamping desa telah melakukan segalanya, sekuat-sekuatnya. Salah satu yang layak disimak adalah sepak terjang Leo Pigome. Pria dengan badan liat ini, meski agak kurus, telah membuktikan pengabdian tanpa batas. Leo mulanya mendampingi 3 kampung (desa) di Papua. Namun, karena jumlah pendamping yang amat sedikit, ia harus mendampingi 12 kampung. Antarkampung sebagian besar terisolasi sehingga ia mesti jalan kaki, bahkan kadang sampai 30 jam. Gaji sebagai pendamping habis hanya untuk transpor dan bekal makanan, tak ada yang tersisa untuk keluarga. Hebatnya, dia sanggup menyusun rencana pengurangan korupsi dan merancang transparansi agar Dana Desa berfaedah bagi warga. Dia kumpulkan tokoh kampung dan pemuka agama untuk mengawal penggunaan Dana Desa. Ia bisa menyatukan kekuatan informal dalam program formal pemerintah. Leo nyaris paripurna sebagai pendamping. Kurang lebih keteguhan itu pula yang didedikasikan oleh Nur Irawati, pendamping desa di Kabupaten Muaro Jambi. Ia sudah lama menjadi pendamping desa sehingga sigap mengawal perencanaan, eksekusi program, dan pengawasan Dana Desa. Musyawarah desa berhasil ia dinamisir sehingga semua yang hadir mau berbicara untuk kepentingan desa. Demikian pula penyusunan APBDesa begitu rapi dan tajam sesuai dengan kebutuhan desa. Lebih menukik lagi, Nur juga paham bahwa inti pembangunan adalah pemberdayaan warga. Oleh karena itu, ia ajari kaum perempuan untuk memanfaatkan seluruh sumber daya ekonomi yang ada di desa. Tiap pekarangan rumah sekarang menjadi ladang ekonomi warga. Setidaknya kebutuhan sehari-hari tidak perlu dibeli lagi. Ketahanan ekonomi keluarga meningkat sehingga terdapat ruang bagi peningkatan belanja rumah tangga untuk pendidikan. Sesuai namanya, Nur telah menjadi cahaya desa. Leo dan Nur menjadi saksi vital atas peran pendamping desa. Masih banyak lagi yang bertarung seperti mereka: menjadi tombak yang berada di lapangan. Seluruh urusan kelancaran pembangunan dan pemberdayaan desa diharapkan terpapar dari pikiran dan hati mereka. Pendeknya, mereka menjadi jantung gerakan pemberdayaan“
Apa yang ditulis oleh Prof Ahmad Erani
Yustika diatas, menggambarkan secara umum tentang kiprah yang selama ini
dilakukan oleh PLD.
Beragam kesulitan yang dialami perangkat
desa, misalnya terkait dengan hal-hal yang bersipat basic (dasar) dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa seperti penyusunan RPJMDesa, RKPDesa, APBDesa
sampai dengan pertanyaan seputar peraturan desa (perdes) larinya ke pendamping
lokal desa. Secara umum Kades dan Perangkat Desa tidak tahu status kedudukan
mereka sebagai PLD yang mereka tahu PLD adalah Pendamping Desa yang selalu
hadir dan perfom dalam mendampingi dan memfasilitasi mereka.
Mereka membantu terutama menerjemahkan
berbagai peraturan dari atas sampai bawah, kedalam langkah-langkah kongkrit dan
sederhana sehingga menjadi pemandu desa dalam memecahkan masalah.
Begitu pula peran PLD dalam memfasilitasi pelibatan warga, terutama
sektoral seperti kelompok tani, karang taruna, ibu PKK, kader dan seterusnya
saat merumuskan program-program desa, bahkan ada PLD yang dilibatkan untuk
melatih warga dalam latihan kesenian. Peran semacam ini terutama dirasakan oleh
desa-desa yang tergolong masih berkembang.
Selain itu, fakta
dilapangan beban kerja yang di bebankan kepada PLD begitu
komlpeks, menurut Pendapat teman Ngopi saya, PLD itu ibarat dokter umum. Dimana mereka dituntut
harus mampu memahami dan menjalankan tugas sebagai Penyuluh,
Fasilitator yang mampu melatih dan mengadvokasi masyarakat,
sebagai staf administrasi dimana kita harus melaksanakan hal-hal yang
bersifat administratif seperti menghimpun, menginput/melaporkan data, dan
laporan-laporan lainnya, sebagai fungsional yang ahli dalam hal-hal
yang bersifat teknis seperti menyusun RPJMDesa, RKPDesa, APBDesa, SPJ,dll, serta sebagai pegawai struktural yang mampu
berkoordinasi dengan baik secara fertikal maupun horizontal, belum lagi jika dibebani oleh
tugas-tugas lain yang diberikan oleh Pendamping Desa di level Kecamatan dan
Kabupaten (TA dan PD), semua itu akan
bertumpu pada PLD.
Dalam konteks ini saya kira tidak menjadi persoalan selama dalam menjalankan tugas didukung
oleh sumber daya energi/gizi yang cukup memadai baik itu
dari aspek peningkatan kompetensi (Sertifikasi/Pelatihan) dan
utamanya dari sisi peningkatan ekonomi (Honor) dan BOP.
Pendamping lokal desa sebagai
pendamping profesional pada tingkat paling depan yaitu desa, mendapatkan
insentif pekerjaan yang paling kecil. Sumber-sumber penghasilan tambahan
bagi pendamping lokal desa di level
paling bawah nyaris tidak ada, kecuali bagi mereka yang mampu berwirausaha mandiri seperti menjadi seorang pedagang,blogger,youtuber,writter,dll,itu merupakan cerita lain.
Namun walaupun demikian kami tetap semangat
dalam melakukan pendampingan desa, karena ada kebanggaan tersendiri manakala
melihat desa dampingannya bekembang kearah yang lebih maju. Kebanggaan tersebut
tidak bisa dinilai dengan uang.
Dan Alhamdulilah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Eko Putro Sandjojo , atas permintaan Presiden Joko Widodo yang menilai bahwa gaji
PLD terlalu minim, telah merealisasikan kenaikan gaji Pendamping
Lokal Desa (PLD) pada bulan maret kemarin terhitung mulai
februari 2019.
Ditambah pada tahun
2020 khusus PLD di Jawa Barat direncanakan akan diberikan bantuan operasional
oleh Pemerintah Provinsi. Semoga tidak ada aral melintang dalam realisasinya
nanti. Perhatian Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan merupakan bentuk apresiasi bagi kami selaku PLD yang telah melakukan pendampingan desa dengan style
seperti dokter umum yang harus mampu mendiagnosis berbagai penyakit (Hambatan/tantangan
yang dihadapi) dan menentukan obat (Solusi/advokasi/Fasilitasi) bagi
klien (Pemdes&Masyarakat).
Suruput Dulu Kopinya
!!!
Oleh : Asep Jazuli
(Penikmat Kopi/Pendamping Lokal Desa Kecamatan Cibugel
Kabupaten Sumedang-Jawa Barat)
Keterangan : Tanda
kutip “Pendamping
Desa” dalam judul artikel yang ditulis oleh Prof Ahmad Erani Yustika,
dimaksudkan kepada Pendamping Lokal Desa, hal ini karena nama pendamping yang
disebut oleh beliau, Nur Irawati dan Leo, mereka
adalah PLD yang mengikuti Lomba PLD Teladan di tingkat Nasional pada tahun 2016
yang lalu. Yang kebetulan dengan penulispun salah satu dari mereka (Nur Irawati) pernah
berkomunikasi lewat Media Sosial Facebook dan Whatsap.
Artikel ini dibuat tanpa bermaksud menyinggung apalagi
mengerdilkan/mengecilkan Peran Pendamping Lainnya (PDP/PDTI). Karena semua
punya peran dan kedudukannya masing-masing yang satu sama lain saling menguatkan
dan mendukung dalam satu wadah teamwork Pendampingan Desa.
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....