INSAN DESA INSTTITUTE - Kementerian Desa, Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) bekerjasama dengan Program Peduli
dan Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK) UGM menyelenggarakan Diskusi
Publik yang bertemakan “Menuju Desa Inklusif 2020 : Peran Perguruan Tinggi dan
Masyarakat Sipil dalam Mengawal Implementasi Desa Inklusif”.
Diskusi ini bertujuan untuk mendapatkan
input dan tanggapan dari civitas akademika, peneliti dan penggiat desa dalam
implementasi Desa Inklusif yang diharapkan bisa dimulai tahun 2020.
Saat ini Kemendes PDTT bekerja sama
dengan Program Peduli sedang menyelesaikan Panduan Fasilitasi Desa Inklusif.
Panduan ini diharapkan menjadi pedoman bagi pemerintah desa, pendamping desa
dan masyarakat untuk mewujudkan desa inklusif yang adil, setara dan tidak
meminggirkan salah satu atau beberapa kelompok masyarakat dalam pembangunan.
Buku panduan ini berawal dari semangat
Undang-Undang no 6 tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan tujuan pembangunan
desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup
manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar,
pembangunan sarana-prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, serta berkontribusi
terhadap perlindungan dan pemenuhan hak terhadap kelompok yang terpinggirkan.
Sekjen Kemendes PDTT Anwar Sanusi
menjelaskan bahwa lima tahun berjalannya UU Desa sudah ada proses perubahan
wajah di pedesaan yang mulai membaik, dari segi infrastruktur dan pelayanan
sosial.
"Ini adalah fakta yang harus
diakui keberhasilannya,” ungkap Sekjen Kemendes PDTT Anwar Sanusi saat menjadi
pembicara dalam diskusi publik di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta pada Jumat (8/11).
“Kalau berbicara kedepan, kita harus
move on dari masa lalu, infrastruktur penting tapi bukan yang utama. Rekognisi
yang menguat di pedesaan harus betul-betul di dorong dan mengaktualisasikan
dalam kegiatan yang berpihak betul kepada masyarakat desa, sehingga di desa
tidak ada lagi orang atau kelompok masyarakat yang ditinggalkan. Tak ada lagi
tuduhan kafir, cacat, sesat dan lain-lain. Kita harus terus mempromosikan
keragaman dimasyarakat," tambahnya.
Lebih lanjut Anwar mengatakan bahwa
dalam mewujudkan desa inklusif haruslah diperkuat musyawarah desa (Musdes) nya.
Untuk itu, aturan pertama yang dibuat Kemendes PDTT yakni Peraturan Menteri
(Permen) tentang Musyawarah desa, karena musyawarah adalah instrumen yang ada
di desa untuk pembangunan desa.
“Disitu sudah disebutkan bagaimana
kegiatan harus inklusif dan mementingkan seluruh masyarakat desa. Ke depan,
kita terbuka untuk melakukan review, dan forum ini adalah forum yang tepat
untuk mendapatkan masukan bagaimana untuk menciptakan desa yang inklusif,"
katanya.
Edy Supriyanto, Direktur SEHATI, pegiat
Desa Inklusif Sukoharjo, menjelaskan SEHATI sejak 1997 membuat
kegiatan-kegiatan yang melibatkan disabilitas.
“Langkah awal kami melakukan
pengorganisiran disabilitas dengan membangun kelompok sehingga sekarang di
Kabupaten Sukoharjo ada 60 desa yang selalu melakukan pertemuan untuk
memperkuat kelompok rentan ,”ungkap Edy
Edy menjelaskan SEHATI sudah membentuk
self help group, kelompok-kelompok ini yang akan memperkuat program-program
desa inklusif. “Ada dua faktor yang harus ada untuk mendorong program-program
inklusi di didesa yaitu akses dan partisipasi," tambah Edy.
Menurut Edy, Musdes masih belum
dipahami oleh desa, misalnya Musdes itu harus diawal sebelum Musrenbang.
“Banyak desa melakukan Musrenbang dulu baru Musdes, ini yang kami kawal,”
ungkap Edy.
“Desa Inklusi tidak hanya sekedar
difabel mendapatkan anggaran, karena selama ini anggaran hanya untuk charity
bukan untuk memperkuat kelompok disabilitas, ini yang kami kawal,”tambah Edy.
Menurut Edy, kegiatan desa Inklusi di
Sukorharjo sudah masuk inovasi. “Sehati dipercaya menjadi salah satu tim
inovasi di kabupaten. Ketika ada desa yang ingin masuk menjadi desa inklusi,
sehati memberikan konsultasi dan mendorong pembentukan Perbup,” tambahnya.
Ulya Jamson, Dosen Fisipol UGM
mengatakan bahwa Fisipol telah berkerjasama dengan program Peduli melakuan
study tentang inklusi sosial.
“Setelah 2014 studi kembali ke desa
lagi karena adanya shifting politik. Desa menjadi strategis dan social inklusi
menjadi praktikal. Penelitian ini melihat 4 dimensi, yaitu micro subjektif,
makro obyektif, mikro obyektif dan makro obyektif," katanya.
Arie Sujito, sosiolog UGM dan Pengasuh
Sanggar Maos Tradisi, menjelaskan bahwa prinsip inklusi desa, yaitu desa yang
memberikan kesetaraan kepada masyarakat yaitu memberikan akses untuk terlibat
dalam perencanaan di desa.
“Inklusifitas itu ditandai dengan
terlibatnya masyarakat dan kelompok rentan dalam pengambilan kebijakan,” Ungkap
Arie. Menurut Arie, desa merupakan entitas yang dalam sehariannya sudah
melakukan inklusifitas. “Desa itu entitas yang sudah melakukan inklusifitas”
tambah Arie.
Arie mengajak kelompok rentan untuk
menjadikan Musdes sebagai arena strategis dengan melibatkan kelompok
disabilitas dan kelompok rentan lain dalam perencanaan desa.
“Saya selalu bilang kalau tidak diundang
di dalam Musdes, harus minta datang karena inklusifitas tidak bisa hadir begitu
saja tanpa diperjuangkan, ruang-ruang itu harus direbut oleh kelompok-kelompok
rentan,” ungkap Arie.
“Kita harus melakuan terobosan, desa
jangan menunggu dari kabupaten, desa harus mempunyai inisiatif untuk memperkuat
desa inklusif,” katanya.
Foto: Matin/Kemendes PDTT
Sumber :
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda Disini....